Di tengah semakin ketatnya persaingan di bisnis roti, dibutuhkan kreativitas para pelaku bisnis untuk merebut pasar, yakni mulai dari cara menyajikan produk, keunikan produk, hingga tampilan etalase.
Hal itu disampaikan Ketua Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) Franciscus Welirang dalam seminar ”Peran Desain Interior dalam Usaha Bakery” di Jakarta, Rabu (18/3).
Menurut Franciscus, kreativitas pelaku bisnis roti saat ini masih terkesan sangat terbatas. ”Banyak pengusaha yang asal-asalan memproduksi dan mengabaikan desain interior untuk menarik minat pembeli,” tuturnya. Padahal, lanjut Fransciscus, pasar bisnis roti terus berkembang. Ini setidaknya tampak dari konsumsi terigu sebagai bahan baku utama roti.
Tren konsumsi terigu di Indonesia pada tahun 2000 hanya 13,7 kilogram per kapita, tetapi pada tahun 2007 mencapai 17,1 kilogram per kapita.
Pelaku usaha roti, lanjut Franciscus, seharusnya menangkap potensi pasar yang cukup besar tersebut dengan selalu membuat inovasi yang kreatif.
Kreativitas itu yang dikembangkan restoran cepat saji ala Amerika, antara lain dengan rendang sebagai makanan khas Indonesia. ”Ada juga pengusaha bakery yang menggunakan parfum roti,” katanya.
Dengan demikian, bukan hanya indera penglihatan yang dirangsang dengan bentuk roti, tetapi juga indera penciuman, ”Yaitu disentuh dengan menggunakan parfum roti,” ujar Franciscus.
Menurut Ketua Bidang Luar Negeri Himpunan Desainer Interior Indonesia (HDII) Francis Surjaseputra, sentuhan desain interior berperan penting dalam bisnis roti. Selain itu, kualitas produk, lokasi, harga produk, dan pelayanan terhadap konsumen.
Hal senada diungkapkan Ketua Umum Pengusaha Bakery Indonesia (Apebi) Chris Hardijaya. Dijelaskan, perkembangan usaha roti saat ini telah memasuki era gaya hidup. ”Usaha bakery yang tidak mampu menyesuaikan diri dipastikan akan mengalami stagnasi,” katanya.
Rasa dan tekstur
Selain kreativitas dalam penyajian, Franciscus mengingatkan pelaku usaha roti agar juga memerhatikan kualitas produknya. ”Dampak dari peredaran tepung terigu oplosan yang marak beredar di Tangerang berpotensi membuat kualitas hasil produksi berubah,” katanya.
Rasa dan tekstur yang berubah akan mengecewakan konsumen. ”Kegagalan produksi berdampak pada modal kerja yang terbuang sia-sia,” tutur Franciscus. Sumber : KOMPAS.COM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar