Getuk makanan olahan dari ketela itu memang memiliki cita rasa yang khas. Sebagai kudapan yang biasa disajikan bersama teh atau kopi itu juga sering menjadi oleh-oleh di kala habis bepergian ke luar kota terutama di daerah Jawa Tengah.
Tapi siapa sangka jika getuk yang merupakan makanan sederhana itu bisa menjadi bisnis warisan Keluarga H Tohirin bahkan sampai 10 dasawarsa terakhir ini? Yap itulah kenyataan yang terjadi pada bisnis getuk goreng asli H Tohirin yang berada di Sokaraja, Purwokerto, Jawa Tengah.
Toko yang menjual getuk itu sudah dimulai pada 1918 silam. Praktis usia bisnis getuk itu sudah mencapai 94 tahun atau hampir mencapai 100 tahun. Bagaimana sih awal mulanya?
Begini ceritanya. Dulu pencipta getuk goreng ini adalah Mbah Sarpingad yang sudah almarhum. Ia bersama istrinya Sayem, adalah pedagang warung nasi biasa berdinding anyaman bambu. Nah selain menjual nasi dan lauk pauk, ia juga menjual penganan khas Jawa yaitu getuk basah.
Sayangnya getuk singkong itu tawar jadi tidak terlalu laku. Suatu ketika Mbah Sarpingad ini berpikir keras, bagaimana caranya agar getuk itu masih bisa diolah daripada dibuang begitu saja. Ia pun memiliki ide untuk menggoreng saja getuk tersebut dengan menambahkan gula kelapa.
Hasilnya? Luar biasa enak. Rasanya pas dengan lidah konsumen yang biasa datang ke warung nasi Mbah Sarpingad tersebut. Darisitulah mulai promosi secara getuk tular dan membuat makanan olahan getuk goreng itu lantas terkenal ke pelanggan lainnnya. Mbah Sarpingad pun menamakannya dengan nama Getuk Kamal. Alasannya karena getuk goreng itu dijual di bawah pohon kamal atau asem.
Nah, usaha getuk goreng ini pun terus berlanjut ke menantu laki-lakinya Tohirin setelah simbah meninggal dunia. Di tangan Tohirin inilah getuk goreng dipoles dengan lebih cantik di tahun 1967. Ia pun memutuskan untuk berbisnis getuk saja dan mulai meninggalkan bisnis warung nasi.
Pilihan itu pun tepat. Buktinya getuk gorengnya pun semakin terkenal. Bahkan mulai menjadi oleh-oleh setiap pelancong saat berkunjung ke Purwokerto. Perlahan warung getuk goreng yang sederhana itu berubah menjadi bangunan permanen layaknya tempat menjual jajanan oleh-oleh khas Purwokerto. Tohirin pun akhirnya naik haji.
Usaha Tohirin dalam memajukan getuk goreng patut diacungi jempol. Tak hanya mempatenkan cita rasa getuk goreng khas miliknya itu, ia bahkan menambahkan kata "Asli" di depan nama getung goreng tersebut. Sebab ia sadar bahwa saingan pun mulai banyak bermunculan di wilayah Sokaraja. Dengan menambahkan kata tersebut maka getuk gorengnya bisa bersaing secara sehat.
Pada 1990-an, Tohirin menyerahkan tongkat estafet pengelolaan usaha getuk goreng kepada ketiga anaknya: Hj. Ning Waryati, Slamet Lukito dan Hj. Warsuti. Di tangan ketiga anaknya inilah, bisnis getuk goreng tumbuh makin pesat. Pada masa ketiga anaknya inilah getuk goreng ini dipatenkan dengan nama Getuk Goreng Asli H. Tohirin. “Sejak 1997 kami sudah memiliki paten,” ujar Ning Waryati, anak sulung Tohirin yang kini berusia 55 tahun.
Di masa kepemimpinan Tohirin, jumlah toko hanya tiga. Adapun di bawah pengelolaan anak-anaknya hingga pertengahan 2010, jumlah gerai getuk goreng Asli H. Tohirin mencapai 10. Sembilan di Sokaraja dan yang satu lagi di Buntu, Banyumas. Tidak tertutup kemungkinan gerainya akan terus berkembang. “Kami membuka outlet berdasarkan kebutuhan pasar,” ujar Slamet Lukito, anak kedua H. Tohirin.
Menurut Isnaini Nurkhumayah, putri kedua Ning Waryati sekaligus pemilik toko Asli I, untuk sukses dalam usaha ini ia dan keluarganya sangat menjaga kualitas produk. Untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan pelanggan, proses produksi getuk goreng yang dilakukan secara tradisional bisa mereka saksikan.
Proses produksi itu dilakukan di ruangan khusus di bagian belakang toko. Di tempat inilah, setiap hari puluhan karyawan — semua laki-laki — sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang mengukus singkong, ada yang menumbuk di lumpang dengan alu-alu yang panjang, dan ada juga yang menggoreng. Begitu getuk jadi, langsung dibawa ke toko depan untuk dijual langsung ke konsumen. “Pekerjaan di sini butuh tenaga yang kuat, jadi pada umumnya dikerjakan lelaki,” ujar Isnaini.
Satu hal yang menarik, meski permintaan pasar cukup tinggi, pemilik Toko Tohirin tetap mempertahankan proses produksi yang tradisional. Contohnya, untuk mengukus mereka masih menggunakan dandang dan tungku berbahan bakar kayu. Lalu, untuk membuat adonan getuk mereka masih menggunakan cara ditumbuk.
Kemasan pun juga terkesan tradisional menggunakan besek yang ukurannya disesuaikan dengan berat getuk gorengnya. Di dalam ruangan memang ada alat penggiling bertenaga diesel, tetapi hanya digunakan untuk memecah ketela — tidak sampai melembutkan. “Mesin penggiling ini pun hanya digunakan bila permintaan banyak, sehari sampai lima kuintal lebih,” kata Isnaini.
Proses produksi getuk goreng yang dijalankan keluarga ini sebenarnya sederhana. Ketela yang sudah dikupas dikukus sampai matang, lalu ditumbuk. Setelah halus baru dicampur dengan gula kelapa asli. Maklum, di pasaran banyak beredar gula kelapa tak lagi asli karena dicampur dengan bahan lain untuk menambah berat. S
Sebelum dicampur dengan adonan getuk, gula harus direbus untuk menjadikannya seperti pasta. Nah, untuk merebus gula ada takarannya juga. Untuk 20 kg gula hanya digunakan satu gelas air. “Gulanya kami datangkan dari produsennya langsung dan kami sudah terikat perjanjian,” ujar Isnaini lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar