Tanpa memedulikan terik matahari, Paliha Humairo membalikkan opak yang dijemur di depan rumahnya. Ada ratusan opak, yang dijemur dengan diwadahi beberapa tempat yang terbuat dari anyaman bambu. Setelah kering, opak-opak itu digoreng menggunakan pasir untuk kemudian dijual.
Paliha sudah membuat opak bersama suaminya, Achyar Suhada sejak 10 tahun lalu. Sebelumnya, orangtua dari delapan anak itu berdagang telur ayam. Namun, keduanya kurang berhasil memasarkan barang dagangan mereka.
Setelah itu mereka banting setir berjualan opak, ternyata hasilnya begitu menggiurkan. Apalagi keduanya tidak perlu memasarkan produk, karena konsumen langsung datang ke rumahnya di RT 05/03, Kampung Sukamanah, Desa Bojongkunci, Kecamatan Pamengpeuk, Kabupaten Bandung.
Achyar mengatakan, setiap hari rata-rata memproduksi 28 kg opak yang sudah jadi. Dari jumlah tersebut, setiap harinya laku antara 20-25 kg. Harga per kilogram opak sebesar Rp 38 ribu. Dengan demikian pasangan Achyar-Paliha bisa mengantungi omzet sekitar Rp 760 ribu sehari.
"Alhamdulillah, yang datang ke rumah untuk membeli opak banyak. Dalam satu hari, rata-rata bisa habis bahan baku beras ketan sampai 25 kilogram.Yang beli bisa dari Ciwidey, Cililin, atau daerah sekitarnya," kata pria berusia 52 tahun ini ketika ditemui di rumahnya.
Opak tersebut terbuat dari beras ketan, gula pasir, garam, dan parut kelapa. Pembuatannya harus melalui proses penumbukan, perendaman, untuk kemudian dikeringkan. Setelah kering, opak-opak itu digoreng menggunakan pasir. Opak yang sudah jadi bisa bertahan enam bulan.
"Kalau digoreng pakai minyak, hanya bisa bertahan maksimal selama sepekan. Kalau pakai pasir bisa sampai enam bulan. Selain itu, penggorengan tanpa minyak itu tidak mengandung kolesterol. Saya juga terima pesanan," ujar pria yang juga berprofesi sebagai guru agama di taman pendidikan Alquran di Kampung Sukamanah ini.
Pada musim kemarau seperti sekarang, Achyar bisa memproduksi berapapun opak sesuai pesanan. Penjualan meningkat biasanya terjadi pada bulan Puasa, yang bisa mencapai lima kali lipat dibandingkan hari biasa. Harganya pun lebih mahal Rp 9.000 dibandingkan hari biasa.
"Puasa kemarin, harga per kilo saya jual Rp 44 ribu. Permintaan meningkat, dan bisa dilihat dari angka penjualan yang mencapai lima kali lipat per hari. Kalau musim kering ini bagus, karena opak bisa kering alami. Tapi kalau musim hujan, biasanya kami panaskan pakai api," ujarnya.
Menurutnya, kendala yang ditemui pembuat opak adalah harga bahan baku yang terus naik. Seperti harga gula pasir, yang saat ini sudah mencapai Rp 14 ribu per kg. Sementara pada saat musim hujan, biasanya Achyar tidak bisa menambah jumlah produksi sesuai pesanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar