Merintis usaha sejak tahun 2006, Dede Sulaiman kini sukses mengelola bisnis dekorasi bento. Di bawah bendera usaha My Bento, bisnisnya berkembang dengan omzet mencapai Rp 1,5 miliar per bulan, dengan laba 30%.
Omzet sebesar itu didapat dari 15 gerai bento miliknya yang tersebar di Karawang, Depok, Garut, Subang dan Indramayu. Itu belum termasuk 55 gerai My Bento milik para mitra usahanya yang tersebar di berbagai daerah.
Maklumlah, usaha yang berbasis di Pondok Gede, Jakarta Timur ini sudah menawarkan kemitraan sejak tahun 2007 silam. Dalam kerja sama kemitraan ini ia menawarkan paket booth, indoor, dan restoran.
Menurut Dede, bento disukai karena rasanya yang cocok dengan lidah masyarakat Indonesia. Dengan dihias, penggemar bento pun semakin banyak.
Namun, untuk menarik minat konsumen, hiasan bento harus benar-benar unik dan menyedot perhatian konsumen. Selama ini, Dede banyak menyajikan hiasan bento berdasarkan tema-tema tertentu, seperti ulang tahun, acara kantor, sunatan, launching produk dan pesta-pesta lainnya.
"Menghias bento sesuai dengan tema tertentu tidaklah gampang," katanya.
Dede bilang, seni menghias bento membutuhkan keterampilan dan pengalaman. Agar karyawannya dapat menghias bento sesuai permintaan konsumen, ia pun kerap memberikan pelatihan secara intensif dan terus-menerus.
Hingga saat ini, total karyawan yang bekerja di gerai My Bento sudah 450 orang. Setiap gerai memiliki enam sampai 10 karyawan. "Para karyawan ini harus diperkuat keahliannya menghias bento," ujarnya.
Kendati persaingan makin ketat, Dede mengaku potensi pasar bento masih besar. Ia bisa sukses mengelola bisnis ini karena rajin membuka jaringan hingga ke daerah-daerah di luar Jabodetabek. Sampai saat ini, jaringan bisnisnya sudah mencapai Kalimantan, Sulawesi, dan Papua.
Dede memilih fokus memperkuat jaringan di daerah karena persaingannya yang belum begitu ketat. Selain itu, "Bento juga sangat diminati di daerah-daerah," katanya.
Dede menawarkan sejumlah menu dengan dekorasi yang berbeda-beda, seperti tepanyaki, chicken katsu, tempura, dan yakiniku. Agar produknya diminati banyak orang, Dede memakai bumbu dan bahan baku yang halal serta bercita rasa lokal, seperti menggunakan rempah-rempah tradisional.
MESIN ROTI, MESIN BAKERY & UTENSILL, SPARE PART MESIN ROTI, BONGKAR PASANG ROTARY OVEN
Rabu, 27 Juni 2012
RAUP RP 1,5 MILLIAR DARI MY BENTO
Label:
info alat roti,
Info pameran roti,
Kiat sukses,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti,
usaha sampingan
Minggu, 24 Juni 2012
DULU GEMAR MAKAN ROTI, KINI JADI JURAGAN ROTI
Berawal dari kesukaan menyantap roti, Maya Donna sukses menjadi salah satu produsen roti ternama di Palembang. Omzetnya dalam sebulan mencapai Rp 200 juta. Dengan 25 karyawan, ia memproduksi ribuan roti saban hari.
Berangkat dari hobi, Maya Donna sukses mengembangkan usaha pembuatan roti di Palembang, Sumatra Selatan. Di bawah bendera usaha CV Adya Pratama, ia memproduksi roti dengan merek My Bakery. Dalam sehari, ia memproduksi sebanyak 1.000 roti manis aneka rasa, 500 roti kombinasi, 250 bungkus roti tawar, serta puluhan snack dan kue lain untuk keperluan meeting dan acara lainnya. "Kami juga sering melayani pesanan kue blackforest setiap hari," ujar ibu dua putri ini.
Untuk membuat roti sebanyak itu, Maya dibantu 25 karyawan dan menghabiskan sekitar 175 kilogram tepung terigu per hari. Guna menopang penjualan, dia membuka delapan gerai di Kota Pempek itu.
Dua dari delapan gerai itu adalah milik Maya. Sisanya kepunyaan teman dan kerabat yang menjadi mitra usahanya. "Kebetulan sejak awal 2012 lalu saya membuka kemitraan terbatas," katanya seperti dikutip dari Kontan.co.id.
Maya mengaku, dari seluruh roti yang ia bikin, sekitar 90%-nya habis terjual setiap harinya. Dengan harga jual sekitar Rp 5.000 per pieces, dia meraup omzet Rp 7 juta - Rp 8 juta sehari, atau rata-rata Rp 200 juta sebulan. Sayang, ia tak menyebut berapa laba yang diperolehnya dari usaha ini.
Selain menjual lewat gerainya, Maya juga menitipkan produk rotinya ke beberapa toko kelontong di sekitar Palembang. "Kami bersyukur cara itu sejauh ini cukup efektif mendongkrak penjualan," ungkap istri Ardiansyah ini.
Atas prestasinya itu, Maya pun masuk sebagai finalis Wirausaha Muda Mandiri 2012 yang diselenggarakan oleh Bank Mandiri.
Sebelum merintis usaha ini, Maya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan penghasil tepung terigu. Di perusahaan itu, ia bekerja selama dua tahun, sebelum akhirnya memilih untuk mundur dan memulai bisnis roti dari nol. "Kebetulan saat itu saya punya anak bayi berusia lima bulan, sehingga tak memungkinkan untuk ditinggal bekerja," tutur Maya.
Bisnis roti ini Maya rintis sejak Mei 2008 lalu. Usaha tersebut dia pilih karena sejak kecil doyan makan roti. Tidak hanya penyuka roti, ia juga hobi membuat aneka kue dan roti.
Sebagai penyuka roti, dia melihat di kotanya belum ada produsen roti yang membidik konsumen kelas menengah. Kebanyakan, hanya menyasar kalangan bawah dan atas.
Untuk kalangan atas, produk roti di Palembang dijual dengan harga paling murah Rp 8.000 per pieces. Sementara untuk kelas bawah dibanderol seharga Rp 1.500 per pieces.
Karena belum ada yang fokus menggarap segmen menengah, Maya kemudian memutuskan untuk mengisi kekosongan pasar itu. Di segmen pasar ini, ia menjual rotinya di kisaran harga Rp 5.000 per pieces. "Roti untuk kalangan menengah adalah roti yang murah, enak, dengan kemasan yang menarik," jelasnya.
Setelah empat tahun berjalan, roti buatan Maya kini semakin diminati warga Palembang dan sekitarnya. Merek rotinya pun mulai dikenal masyarakat.
Berangkat dari hobi, Maya Donna sukses mengembangkan usaha pembuatan roti di Palembang, Sumatra Selatan. Di bawah bendera usaha CV Adya Pratama, ia memproduksi roti dengan merek My Bakery. Dalam sehari, ia memproduksi sebanyak 1.000 roti manis aneka rasa, 500 roti kombinasi, 250 bungkus roti tawar, serta puluhan snack dan kue lain untuk keperluan meeting dan acara lainnya. "Kami juga sering melayani pesanan kue blackforest setiap hari," ujar ibu dua putri ini.
Untuk membuat roti sebanyak itu, Maya dibantu 25 karyawan dan menghabiskan sekitar 175 kilogram tepung terigu per hari. Guna menopang penjualan, dia membuka delapan gerai di Kota Pempek itu.
Dua dari delapan gerai itu adalah milik Maya. Sisanya kepunyaan teman dan kerabat yang menjadi mitra usahanya. "Kebetulan sejak awal 2012 lalu saya membuka kemitraan terbatas," katanya seperti dikutip dari Kontan.co.id.
Maya mengaku, dari seluruh roti yang ia bikin, sekitar 90%-nya habis terjual setiap harinya. Dengan harga jual sekitar Rp 5.000 per pieces, dia meraup omzet Rp 7 juta - Rp 8 juta sehari, atau rata-rata Rp 200 juta sebulan. Sayang, ia tak menyebut berapa laba yang diperolehnya dari usaha ini.
Selain menjual lewat gerainya, Maya juga menitipkan produk rotinya ke beberapa toko kelontong di sekitar Palembang. "Kami bersyukur cara itu sejauh ini cukup efektif mendongkrak penjualan," ungkap istri Ardiansyah ini.
Atas prestasinya itu, Maya pun masuk sebagai finalis Wirausaha Muda Mandiri 2012 yang diselenggarakan oleh Bank Mandiri.
Sebelum merintis usaha ini, Maya bekerja sebagai karyawan di sebuah perusahaan penghasil tepung terigu. Di perusahaan itu, ia bekerja selama dua tahun, sebelum akhirnya memilih untuk mundur dan memulai bisnis roti dari nol. "Kebetulan saat itu saya punya anak bayi berusia lima bulan, sehingga tak memungkinkan untuk ditinggal bekerja," tutur Maya.
Bisnis roti ini Maya rintis sejak Mei 2008 lalu. Usaha tersebut dia pilih karena sejak kecil doyan makan roti. Tidak hanya penyuka roti, ia juga hobi membuat aneka kue dan roti.
Sebagai penyuka roti, dia melihat di kotanya belum ada produsen roti yang membidik konsumen kelas menengah. Kebanyakan, hanya menyasar kalangan bawah dan atas.
Untuk kalangan atas, produk roti di Palembang dijual dengan harga paling murah Rp 8.000 per pieces. Sementara untuk kelas bawah dibanderol seharga Rp 1.500 per pieces.
Karena belum ada yang fokus menggarap segmen menengah, Maya kemudian memutuskan untuk mengisi kekosongan pasar itu. Di segmen pasar ini, ia menjual rotinya di kisaran harga Rp 5.000 per pieces. "Roti untuk kalangan menengah adalah roti yang murah, enak, dengan kemasan yang menarik," jelasnya.
Setelah empat tahun berjalan, roti buatan Maya kini semakin diminati warga Palembang dan sekitarnya. Merek rotinya pun mulai dikenal masyarakat.
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Kiat Bisnis Roti,
Kiat sukses,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti,
usaha sampingan
Kamis, 21 Juni 2012
PUNYA NIAT BERWIRAUSAHA? LAKUKAN 4 HAL INI
Tidak jarang kita sering menjumpai seseorang yang mengatakan, "Saya akan mencoba berwirausaha suatu saat nanti." Tetapi ketika ditanya di lain waktu, orang tersebut masih mengatakan "suatu saat nanti." Alhasil mayoritas dari mereka justru tidak pernah mewujudkan niatnya tersebut.
Kebanyakan dari orang kerap dibayangi oleh kekhawatiran akan risiko ini itu. Pikiran orang bahwa usahanya akan gagal sering kali lebih besar ketimbang keinginannya untuk menjadi pengusaha. Menurut Forbes, kemampuan untuk mengambil risiko untuk berwirausaha, sangat sedikit hubungannya dengan kepribadian seseorang. Mengambil risiko untuk berwirausaha lebih besar hubungannya terhadap bagaimana kemampuan aksebilitas dan bagaimana dia mengenal pengalaman berwirausaha.
Mereka yang dapat membayangkan dirinya sedang menjalankan bisnis, dialah yang sering bisa mewujudkan niat wirausahanya. Sedangkan mereka yang selalu dibayangi kekhwatiran bahwa wirausaha adalah sebuah hal yang menakutkan, yang penuh risiko, akhirnya tidak pernah mewujudkan niatnya.
Berikut empat tips yang diharapkan bisa membantu mewujudkan niat wirausaha Anda:
Pertama, cari teman-teman baru. Salah satu cara terbaik untuk mempelajari wirausaha adalah dengan berteman dengan sejumlah pengusaha. Tidak musti berteman dengan pengusaha yang kaya, tetapi bertemanlah dengan pelaku usaha yang biasa di mana dia bekerja untuk dirinya sendiri. Mulai dengan bergaul dengan pengusaha yang dekat dengan tempat tinggal Anda. Itu bisa membantu menciptakan pemikiran, "Jika mereka bisa, maka saya juga."
Bertemulah dengan pelaku usaha dari berbagai industri. Semakin beragam gaya kewirausahaan yang ditemui, maka semakin kaya pengalaman kita.
Lantas bagaimana jika kita tidak kenal satu orang pun pengusaha? Mulailah bertanya dengan orang-orang untuk mengenalkan Anda ke sejumlah pengusaha. Bisa juga dengan mengikuti sebuah kelompok lewat LinkedIn atau Facebook. Cari teman pelaku usaha dari sana. Siapa tahu Anda bisa banyak bertemu pengusaha lewat jejaring sosial tersebut.
Kedua, pilih sejumlah pelaku usaha sebagai panutan. Pelaku usaha yang dijadikan contoh kiranya yang sudah terbukti kesuksesannya di dunia usaha. Mungkin kita tidak bisa berbincang dengan mereka secara dekat, tapi kita bisa melakukan analisa kesuksesannya. Kita bisa memilih sejumlah merek ataupun perusahaan yang kita sukai.
Lalu, coba telaah pemilik usahanya melalui banyak hal seperti situs perusahaannya dan profil pengusahanya di media atau artikel lainnya. Bahkan mungkin ada buku mengenai otobiografi pengusaha tersebut yang bisa kita baca. Pelajari kepribadiannya dan gaya kepemimpinannya yang telah sedemikian rupa membentuk mereka atau perusahaan yang dijalankannya.
Ketiga, coba senangi bisnis kecil sebagai seorang pelanggan. Selain berteman dengan pengusaha, penting juga untuk berhubungan dengan bisnisnya. Tidak perlu langsung berpikir sebuah bisnis besar. Coba lirik sebuah bisnis kecil atau bisnis yang baru saja dimulai yang Anda sukai.
Cari tahu pengalaman atau cerita pemilik usahanya. Apa yang mereka lakukan untuk menjadi berbeda. Lantas berpikirlah sebagai seorang konsumen karena dengan cara itu Anda bisa tahu apa yang menarik yang kiranya bisa diambil sebagai masukan untuk usaha Anda.
Keempat, melawan mitos berbicara bisnis. Maksudnya, sering kali calon pelaku usaha berpikir bahwa dibutuhkan pengetahuan dan keahlian yang mumpuni untuk memulai usaha. Padahal tidak perlu menjadi lulusan MBA untuk berwirausaha.
Apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan berbisnis? Coba berlangganan sebuah majalah bisnis dan baca sesuatu yang Anda suka. Melalui hal itu, Anda bisa melihat bagaimana seseorang mengembangkan bisnisnya ataupun bagaimana menangani suatu masalah dalam berbisnis.
Jika Anda telah mulai berteman dengan pelaku usaha, belajar banyak dengan membaca apa pun, berpikir lebih mengenai seperti apa menjadi seorang pengusaha, maka Anda akan tahu bahwa berbisnis tidak semenakutkan yang Anda pikir selama ini. Anda pun tidak perlu menunggu suatu waktu untuk menjadi wirausahawan, tapi sesegera mungkin.
Kebanyakan dari orang kerap dibayangi oleh kekhawatiran akan risiko ini itu. Pikiran orang bahwa usahanya akan gagal sering kali lebih besar ketimbang keinginannya untuk menjadi pengusaha. Menurut Forbes, kemampuan untuk mengambil risiko untuk berwirausaha, sangat sedikit hubungannya dengan kepribadian seseorang. Mengambil risiko untuk berwirausaha lebih besar hubungannya terhadap bagaimana kemampuan aksebilitas dan bagaimana dia mengenal pengalaman berwirausaha.
Mereka yang dapat membayangkan dirinya sedang menjalankan bisnis, dialah yang sering bisa mewujudkan niat wirausahanya. Sedangkan mereka yang selalu dibayangi kekhwatiran bahwa wirausaha adalah sebuah hal yang menakutkan, yang penuh risiko, akhirnya tidak pernah mewujudkan niatnya.
Berikut empat tips yang diharapkan bisa membantu mewujudkan niat wirausaha Anda:
Pertama, cari teman-teman baru. Salah satu cara terbaik untuk mempelajari wirausaha adalah dengan berteman dengan sejumlah pengusaha. Tidak musti berteman dengan pengusaha yang kaya, tetapi bertemanlah dengan pelaku usaha yang biasa di mana dia bekerja untuk dirinya sendiri. Mulai dengan bergaul dengan pengusaha yang dekat dengan tempat tinggal Anda. Itu bisa membantu menciptakan pemikiran, "Jika mereka bisa, maka saya juga."
Bertemulah dengan pelaku usaha dari berbagai industri. Semakin beragam gaya kewirausahaan yang ditemui, maka semakin kaya pengalaman kita.
Lantas bagaimana jika kita tidak kenal satu orang pun pengusaha? Mulailah bertanya dengan orang-orang untuk mengenalkan Anda ke sejumlah pengusaha. Bisa juga dengan mengikuti sebuah kelompok lewat LinkedIn atau Facebook. Cari teman pelaku usaha dari sana. Siapa tahu Anda bisa banyak bertemu pengusaha lewat jejaring sosial tersebut.
Kedua, pilih sejumlah pelaku usaha sebagai panutan. Pelaku usaha yang dijadikan contoh kiranya yang sudah terbukti kesuksesannya di dunia usaha. Mungkin kita tidak bisa berbincang dengan mereka secara dekat, tapi kita bisa melakukan analisa kesuksesannya. Kita bisa memilih sejumlah merek ataupun perusahaan yang kita sukai.
Lalu, coba telaah pemilik usahanya melalui banyak hal seperti situs perusahaannya dan profil pengusahanya di media atau artikel lainnya. Bahkan mungkin ada buku mengenai otobiografi pengusaha tersebut yang bisa kita baca. Pelajari kepribadiannya dan gaya kepemimpinannya yang telah sedemikian rupa membentuk mereka atau perusahaan yang dijalankannya.
Ketiga, coba senangi bisnis kecil sebagai seorang pelanggan. Selain berteman dengan pengusaha, penting juga untuk berhubungan dengan bisnisnya. Tidak perlu langsung berpikir sebuah bisnis besar. Coba lirik sebuah bisnis kecil atau bisnis yang baru saja dimulai yang Anda sukai.
Cari tahu pengalaman atau cerita pemilik usahanya. Apa yang mereka lakukan untuk menjadi berbeda. Lantas berpikirlah sebagai seorang konsumen karena dengan cara itu Anda bisa tahu apa yang menarik yang kiranya bisa diambil sebagai masukan untuk usaha Anda.
Keempat, melawan mitos berbicara bisnis. Maksudnya, sering kali calon pelaku usaha berpikir bahwa dibutuhkan pengetahuan dan keahlian yang mumpuni untuk memulai usaha. Padahal tidak perlu menjadi lulusan MBA untuk berwirausaha.
Apa yang harus dilakukan untuk mendapatkan pengetahuan berbisnis? Coba berlangganan sebuah majalah bisnis dan baca sesuatu yang Anda suka. Melalui hal itu, Anda bisa melihat bagaimana seseorang mengembangkan bisnisnya ataupun bagaimana menangani suatu masalah dalam berbisnis.
Jika Anda telah mulai berteman dengan pelaku usaha, belajar banyak dengan membaca apa pun, berpikir lebih mengenai seperti apa menjadi seorang pengusaha, maka Anda akan tahu bahwa berbisnis tidak semenakutkan yang Anda pikir selama ini. Anda pun tidak perlu menunggu suatu waktu untuk menjadi wirausahawan, tapi sesegera mungkin.
Label:
bisnis roti,
info alat roti,
Info pameran roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti,
usaha sampingan
Senin, 18 Juni 2012
MENYALURKAN HOBI DENGAN BERBISNIS ANEKA KUE
Berawal dari hobi, Suhartina mengawali bisnis roti manis dan aneka cake.
Suhartina Mursido lahir di kota Lampung, 45 tahun lalu. Sejak duduk di bangku sekolah menengah bu Tina begitu panggilan akrabnya sangat gemar dalam membuat kue-kue. Namun, kegemarannya itu belum sampai terpikir untuk dijadikan sebuah peluang usaha yang menjanjikan. Setelah menikah, ibu dua putra ini tetap meneruskan hobinya hingga para tetanggapun mencicipi kue buatannya. Beberapa tetangga akhirnya mempercayakan kualitas kue yang lezat di tangan bu Tina. Mulai dari sana, tepatnya tahun 2000 saat lebaran ataupun hari-hari besar lainnya, bu Tina mulai disibukkan dengan membuat kue-kue pesanan para tetangganya. Didik Mursido adalah suami yang sangat mendukung hoby istrinya dalam menyalurkan hoby dengan berbisnis aneka kue. Dengan alasan tersebut maka, Pak Didik memutuskan untuk pensiun dini dan membantu segenap jiwa raga untuk berbisnis kue dengan istrinya.
Tahun 2006 pak Didik dan bu Tina, benar-benar mulai menekuni bisnis yang sekaligus hobinya itu. Bisnis yang awalnya hobi kini dijadikannya bisnis profesi. Dengan modal awal sekitar 35 juta yang dialokasikan untuk merenovasi rumah yang sebagai tempat tinggal juga ditambah fungsinya sekaligus menjadi rumah produksi aneka kue, selanjutnya membeli peralatan yang mendukung dalam pembuatan kue, membeli sebuah sepeda motor untuk kemudahan dalam memasarkan produknya dan sisanya untuk membeli bahan baku.
Untuk menunjang keterampilannya dalam membuat kue, bu Tina sering mengikuti pelatihan-pelatihan atau kursus pembuatan aneka macam kue. Selain membuat kue-kue kering, bu Tina juga pandai membuat tart, kue manis, bolu, sifon, donat dan juga menerima pesanan snack. Untuk pendapatan sehari-harinya bu Tina dan pak Didik menjual roti manis dan roti sobek aneka rasa mulai dari rasa coklat, strawberry, nanas, moca dll. dengan bentuk roti yang beraneka ragam dan unik. Harganyapun sangat terjangkau hanya Rp 1.500,. saja. Kini pak Didik telah menitipkan rotinya pada 90 toko di daerah Sleman.
Proses pembelajaran yang panjang dalam memulai bisnis roti dan kue ini, serta pengalaman yang banyak dalam membuat kue dan cake. Membuat usaha roti, kue dan cake Kitta ini bertahap semakin berkembang hingga mampu membuat outlet kecil dan sederhana di teras rumahnya. Meskipun begitu, pak Didik dan istri sangat bersyukur karena semakin bertambah saja pelanggannya ataupun reseller yang suka dengan produknya. Namun ada kekhawatiran tersendiri yang menghampiri pasangan suami istri ini, yakni bila sampai pelanggannya semakin meningkat dan belum mampu melayani dengan baik. Karena selama ini, bisnis kue Kitta ditangani oleh 3 orang saja. Dan kendala yang dihadapi adalah kekurangan tenaga kerja yang memadai, tempat produksi yang sempit sehingga menyulitkan ketika sudah kebanjiran pesanan, peralatan yang seadanya dan modal yang terbatas. Sehingga merasa kesulitan dalam memenuhi pesanan yang sangat banyak. Jadi pak Didik masih membatasi wilayah pemasarannya dan pesanannya saat-saat Idul Fitri akan tiba.
Suhartina Mursido lahir di kota Lampung, 45 tahun lalu. Sejak duduk di bangku sekolah menengah bu Tina begitu panggilan akrabnya sangat gemar dalam membuat kue-kue. Namun, kegemarannya itu belum sampai terpikir untuk dijadikan sebuah peluang usaha yang menjanjikan. Setelah menikah, ibu dua putra ini tetap meneruskan hobinya hingga para tetanggapun mencicipi kue buatannya. Beberapa tetangga akhirnya mempercayakan kualitas kue yang lezat di tangan bu Tina. Mulai dari sana, tepatnya tahun 2000 saat lebaran ataupun hari-hari besar lainnya, bu Tina mulai disibukkan dengan membuat kue-kue pesanan para tetangganya. Didik Mursido adalah suami yang sangat mendukung hoby istrinya dalam menyalurkan hoby dengan berbisnis aneka kue. Dengan alasan tersebut maka, Pak Didik memutuskan untuk pensiun dini dan membantu segenap jiwa raga untuk berbisnis kue dengan istrinya.
Tahun 2006 pak Didik dan bu Tina, benar-benar mulai menekuni bisnis yang sekaligus hobinya itu. Bisnis yang awalnya hobi kini dijadikannya bisnis profesi. Dengan modal awal sekitar 35 juta yang dialokasikan untuk merenovasi rumah yang sebagai tempat tinggal juga ditambah fungsinya sekaligus menjadi rumah produksi aneka kue, selanjutnya membeli peralatan yang mendukung dalam pembuatan kue, membeli sebuah sepeda motor untuk kemudahan dalam memasarkan produknya dan sisanya untuk membeli bahan baku.
Untuk menunjang keterampilannya dalam membuat kue, bu Tina sering mengikuti pelatihan-pelatihan atau kursus pembuatan aneka macam kue. Selain membuat kue-kue kering, bu Tina juga pandai membuat tart, kue manis, bolu, sifon, donat dan juga menerima pesanan snack. Untuk pendapatan sehari-harinya bu Tina dan pak Didik menjual roti manis dan roti sobek aneka rasa mulai dari rasa coklat, strawberry, nanas, moca dll. dengan bentuk roti yang beraneka ragam dan unik. Harganyapun sangat terjangkau hanya Rp 1.500,. saja. Kini pak Didik telah menitipkan rotinya pada 90 toko di daerah Sleman.
Proses pembelajaran yang panjang dalam memulai bisnis roti dan kue ini, serta pengalaman yang banyak dalam membuat kue dan cake. Membuat usaha roti, kue dan cake Kitta ini bertahap semakin berkembang hingga mampu membuat outlet kecil dan sederhana di teras rumahnya. Meskipun begitu, pak Didik dan istri sangat bersyukur karena semakin bertambah saja pelanggannya ataupun reseller yang suka dengan produknya. Namun ada kekhawatiran tersendiri yang menghampiri pasangan suami istri ini, yakni bila sampai pelanggannya semakin meningkat dan belum mampu melayani dengan baik. Karena selama ini, bisnis kue Kitta ditangani oleh 3 orang saja. Dan kendala yang dihadapi adalah kekurangan tenaga kerja yang memadai, tempat produksi yang sempit sehingga menyulitkan ketika sudah kebanjiran pesanan, peralatan yang seadanya dan modal yang terbatas. Sehingga merasa kesulitan dalam memenuhi pesanan yang sangat banyak. Jadi pak Didik masih membatasi wilayah pemasarannya dan pesanannya saat-saat Idul Fitri akan tiba.
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Kiat Bisnis Roti,
Kiat sukses,
kuliner,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti,
usaha sampingan
Jumat, 15 Juni 2012
BROWNIES COOKIES, CAMILAN UNIK YANG LARIS MANIS
Perkembangan industri kuliner yang semakin moncer, mendorong para pelaku usaha untuk terus bergerilya menciptakan produk-produk baru yang inovatif. Salah satunya seperti inovasi brownies cookies yang diluncurkan Ira Puspita Dewi, warga Jl. Kliningan No.17 Bandung, Jawa Barat yang berhasil menjangkau pasar nasional maupun pasar internasional.
Meskipun aneka macam jenis brownies telah menjamur di kalangan masyarakat umum, namun Ira tidak kehabisan akal untuk menciptakan peluang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Melihat selama ini hanya ada brownies kukus maupun brownies panggang yang banyak beredar di kalangan masyarakat, Ira mencoba membuat terobosan baru brownies cookies yang memiliki cita rasa unik dan didukung dengan tampilan kemasan yang cukup menarik.
Mengawali bisnisnya pada tahun 2008 silam, Ira memperkenalkan Smile Cookies sebagai brand produknya dan menawarkan dua produk unggulan yang sangat menawan. Yakni brownies cookies original dengan cita rasa coklat yang cukup pekat, serta cinnamon cookies yang menawarkan kesegaran kayu manis dengan tambahan manisan kulit jeruk, buah cerry, maupun kismis.
Selain menawarkan dua produk unggulan dengan cita rasa yang cukup unik, istri Iwan Setiawan ini mengemas produknya dengan toples atau tabung composite can untuk meningkatkan nilai jual produk yang ditawarkan. Strategi bisnis ini ternyata cukup efektif, bila dulunya Smile Cookies yang dikemas dengan plastik kurang diminati para konsumen, sekarang ini produk Ira terlihat semakin eksklusif dengan kemasan kaleng dan digemari kalangan anak muda, orang tua, hingga para pemilik toko kue yang tersebar di seluruh penjuru nusantara.
Dengan harga jual Rp 25.000,00/pcs, sekarang ini Smile Cookies mulai dipasarkan ke sejumlah kota besar di Indonesia dan menjangkau beberapa negara tetangga di Asia. Sebut saja seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, Purwakarta, Depok, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Bengkulu, Kalimantan, Sulawesi, Batam, Papua, hingga mulai menjajaki pasar Malaysia dan Singapura. Untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin besar, sedikitnya Ira bisa memproduksi Smile Cookies sekitar 150-200 tabung composite can per hari atau sekitar 2.500 composite can brownies cookies dan cinnamon cookies setiap bulannya.
Dari bisnis tersebut, Smile Cookies bisa mendapatkan omset usaha sekitar Rp 450 juta sampai Rp 500 juta setiap tahunnya, dan menerima laba bersih sekitar 40% dari seluruh omset yang mereka dapatkan.
Meskipun aneka macam jenis brownies telah menjamur di kalangan masyarakat umum, namun Ira tidak kehabisan akal untuk menciptakan peluang baru yang belum pernah ada sebelumnya. Melihat selama ini hanya ada brownies kukus maupun brownies panggang yang banyak beredar di kalangan masyarakat, Ira mencoba membuat terobosan baru brownies cookies yang memiliki cita rasa unik dan didukung dengan tampilan kemasan yang cukup menarik.
Mengawali bisnisnya pada tahun 2008 silam, Ira memperkenalkan Smile Cookies sebagai brand produknya dan menawarkan dua produk unggulan yang sangat menawan. Yakni brownies cookies original dengan cita rasa coklat yang cukup pekat, serta cinnamon cookies yang menawarkan kesegaran kayu manis dengan tambahan manisan kulit jeruk, buah cerry, maupun kismis.
Selain menawarkan dua produk unggulan dengan cita rasa yang cukup unik, istri Iwan Setiawan ini mengemas produknya dengan toples atau tabung composite can untuk meningkatkan nilai jual produk yang ditawarkan. Strategi bisnis ini ternyata cukup efektif, bila dulunya Smile Cookies yang dikemas dengan plastik kurang diminati para konsumen, sekarang ini produk Ira terlihat semakin eksklusif dengan kemasan kaleng dan digemari kalangan anak muda, orang tua, hingga para pemilik toko kue yang tersebar di seluruh penjuru nusantara.
Dengan harga jual Rp 25.000,00/pcs, sekarang ini Smile Cookies mulai dipasarkan ke sejumlah kota besar di Indonesia dan menjangkau beberapa negara tetangga di Asia. Sebut saja seperti Jakarta, Bekasi, Bogor, Purwakarta, Depok, Yogyakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Palembang, Bengkulu, Kalimantan, Sulawesi, Batam, Papua, hingga mulai menjajaki pasar Malaysia dan Singapura. Untuk memenuhi permintaan pasar yang semakin besar, sedikitnya Ira bisa memproduksi Smile Cookies sekitar 150-200 tabung composite can per hari atau sekitar 2.500 composite can brownies cookies dan cinnamon cookies setiap bulannya.
Dari bisnis tersebut, Smile Cookies bisa mendapatkan omset usaha sekitar Rp 450 juta sampai Rp 500 juta setiap tahunnya, dan menerima laba bersih sekitar 40% dari seluruh omset yang mereka dapatkan.
Label:
alat roti,
info alat roti,
Katalog Produk,
Kiat Bisnis Roti,
Kiat sukses,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
narasi bebas,
oven roti,
proofer,
resep roti,
usaha sampingan
Selasa, 12 Juni 2012
BROWNIES KUKUS, KISAH SUKSES BISNIS RUMAHAN
Kelezatan brownies kukus ternyata tidak hanya berhasil memikat lidah masyarakat luas, makanan ini ternyata juga memberikan sejarah penting bagi Hj. Sumiwiludjeng dan suaminya H. Sjukur Bc.AP dalam mengawali kisah suksesnya menjalankan bisnis rumahan.
Tentu Anda sudah tidak asing lagi bila mendengar produk brownies kukus dengan merek “Amanda”. Produk yang dulu dikenal sebagai oleh-oleh khas Bandung ini, sekarang gerai dan tokonya sudah bisa diperoleh di kota-kota besar lainnya seperti Yogyakarta, Surabaya dan Medan. Namun siapa sangka bila kesuksesan Amanda yang kini telah berhasil membuka gerai di berbagai kota sampai memiliki pabrik kue, berasal dari bisnis rumahan yang dulunya hanya dikerjakan Sumi dan dibantu anggota keluarganya.
Mengawali bisnis sesuai dengan minat dan bakat, memang merupakan alternatif tepat untuk bisa sukses menjalankan sebuah bisnis. Bermodalkan kemampuan memasak yang didapatkan Sumi ketika mengenyam Pendidikan Kesejahteraan dan Keluarga di IKIP Jakarta, Ia menjalankan bisnis katering rumahan dengan menerima pesanan kue dan makanan untuk acara-acara tertentu.
Di akhir tahun 1999 Sumi mencoba resep kue bolu kukus yang didapatkan dari salah seorang saudaranya. Ia mencoba resep tersebut hingga berulang-ulang, sampai akhirnya menemukan takaran yang pas untuk bolu kukus tersebut. Dibantu oleh putra sulungnya Joko Ervianto beserta istrinya (Atin), Sumi menawarkan bolu kukus cokelat tersebut sebagai salah satu menu di katering mereka. Berkat kelezatan dan cita rasa bolu kukus cokelat yang unik, produk tersebut dengan mudahnya diminati para konsumen.
Melihat permintaan pasar akan produk tersebut sangatlah bagus, pada tahun 2000 keluarga Sumi memutuskan untuk membuka usaha brownies kukus dengan menggunakan merek Amanda. Nama tersebut merupakan singkatan dari Anak Mantu Damai, yang artinya mengharapkan anak dan menantu bisa selalu hidup rukun dan damai.
Langkah Awal memasarkan brownies kukus Amanda ternyata tidak semulus yang dibayangkan Sumi beserta anak dan mantunya, kios usaha yang dibuka di komplek pertokoan Metro Bandung harus tergusur setelah pertokoan tersebut terbakar. Hingga akhirnya mereka memindah usaha kue tersebut dengan menyewa tempat di kawasan Jl. Tata Surya Bandung. Cobaan tersebut tidak menyurutkan tekad mereka untuk tetap menjalankan bisnis brownies kukus, dengan lokasi usaha yang baru mereka juga merasa tertantang untuk bisa mendapatkan pelanggan baru.
Merintis usaha kembali di tempat baru, ternyata memberikan keuntungan tersendiri bagi Amanda. Tak sulit bagi mereka untuk mendapatkan konsumen baru, bahkan minat konsumen semakin meningkat setelah mereka pindah di lokasi baru. Brownies yang diproduksi setiap harinya selalu habis dibeli konsumen, dan tak jarang banyak konsumen yang harus kecewa karena brownies kukus yang ingin dibelinya sudah habis terjual.
Seiring dengan permintaan pasar yang semakin tinggi, membuat tempat usaha yang mereka tempati sudah tidak memenuhi kapasitas produksi. Tahun 2002 Sumi dan keluarganya berpindah lagi ke lokasi usaha baru di Jl. Rancabolang Bandung. Mengulangi kesuksesan di tahun sebelumnya, dari lokasi yang baru kesuksesan brownies kukus Amanda menunjukan kemajuan yang luar biasa. Lokasi yang strategis dan didukung dengan cita rasa brownies kukus yang lezat, mengantarkan bisnis yang dulunya hanya dikerjakan di rumah kini menjadi industri kue yang sangat sukses. Dan pada tahun 2004, merek brownies kukus Amanda resmi dipatenkan menjadi brand produk kue buatan Sumi dan keluarganya.
Dibantu para menantu dan ketiga putranya Joko Ervianto, Andi Darmansyah, dan Sugeng Cahyono, kini brownies kukus Amanda sudah memiliki puluhan cabang yang tersebar di berbagai kota. Dengan menawarkan lebih dari dua puluh varian produk, saat ini penjualan produk Amanda bisa mencapai ribuan kotak untuk setiap harinya di masing-masing cabang. Anda bisa bayangkan bukan, berapa besar keuntungan yang diperoleh keluarga Sumi setiap bulannya?
Tentu Anda sudah tidak asing lagi bila mendengar produk brownies kukus dengan merek “Amanda”. Produk yang dulu dikenal sebagai oleh-oleh khas Bandung ini, sekarang gerai dan tokonya sudah bisa diperoleh di kota-kota besar lainnya seperti Yogyakarta, Surabaya dan Medan. Namun siapa sangka bila kesuksesan Amanda yang kini telah berhasil membuka gerai di berbagai kota sampai memiliki pabrik kue, berasal dari bisnis rumahan yang dulunya hanya dikerjakan Sumi dan dibantu anggota keluarganya.
Mengawali bisnis sesuai dengan minat dan bakat, memang merupakan alternatif tepat untuk bisa sukses menjalankan sebuah bisnis. Bermodalkan kemampuan memasak yang didapatkan Sumi ketika mengenyam Pendidikan Kesejahteraan dan Keluarga di IKIP Jakarta, Ia menjalankan bisnis katering rumahan dengan menerima pesanan kue dan makanan untuk acara-acara tertentu.
Di akhir tahun 1999 Sumi mencoba resep kue bolu kukus yang didapatkan dari salah seorang saudaranya. Ia mencoba resep tersebut hingga berulang-ulang, sampai akhirnya menemukan takaran yang pas untuk bolu kukus tersebut. Dibantu oleh putra sulungnya Joko Ervianto beserta istrinya (Atin), Sumi menawarkan bolu kukus cokelat tersebut sebagai salah satu menu di katering mereka. Berkat kelezatan dan cita rasa bolu kukus cokelat yang unik, produk tersebut dengan mudahnya diminati para konsumen.
Melihat permintaan pasar akan produk tersebut sangatlah bagus, pada tahun 2000 keluarga Sumi memutuskan untuk membuka usaha brownies kukus dengan menggunakan merek Amanda. Nama tersebut merupakan singkatan dari Anak Mantu Damai, yang artinya mengharapkan anak dan menantu bisa selalu hidup rukun dan damai.
Langkah Awal memasarkan brownies kukus Amanda ternyata tidak semulus yang dibayangkan Sumi beserta anak dan mantunya, kios usaha yang dibuka di komplek pertokoan Metro Bandung harus tergusur setelah pertokoan tersebut terbakar. Hingga akhirnya mereka memindah usaha kue tersebut dengan menyewa tempat di kawasan Jl. Tata Surya Bandung. Cobaan tersebut tidak menyurutkan tekad mereka untuk tetap menjalankan bisnis brownies kukus, dengan lokasi usaha yang baru mereka juga merasa tertantang untuk bisa mendapatkan pelanggan baru.
Merintis usaha kembali di tempat baru, ternyata memberikan keuntungan tersendiri bagi Amanda. Tak sulit bagi mereka untuk mendapatkan konsumen baru, bahkan minat konsumen semakin meningkat setelah mereka pindah di lokasi baru. Brownies yang diproduksi setiap harinya selalu habis dibeli konsumen, dan tak jarang banyak konsumen yang harus kecewa karena brownies kukus yang ingin dibelinya sudah habis terjual.
Seiring dengan permintaan pasar yang semakin tinggi, membuat tempat usaha yang mereka tempati sudah tidak memenuhi kapasitas produksi. Tahun 2002 Sumi dan keluarganya berpindah lagi ke lokasi usaha baru di Jl. Rancabolang Bandung. Mengulangi kesuksesan di tahun sebelumnya, dari lokasi yang baru kesuksesan brownies kukus Amanda menunjukan kemajuan yang luar biasa. Lokasi yang strategis dan didukung dengan cita rasa brownies kukus yang lezat, mengantarkan bisnis yang dulunya hanya dikerjakan di rumah kini menjadi industri kue yang sangat sukses. Dan pada tahun 2004, merek brownies kukus Amanda resmi dipatenkan menjadi brand produk kue buatan Sumi dan keluarganya.
Dibantu para menantu dan ketiga putranya Joko Ervianto, Andi Darmansyah, dan Sugeng Cahyono, kini brownies kukus Amanda sudah memiliki puluhan cabang yang tersebar di berbagai kota. Dengan menawarkan lebih dari dua puluh varian produk, saat ini penjualan produk Amanda bisa mencapai ribuan kotak untuk setiap harinya di masing-masing cabang. Anda bisa bayangkan bukan, berapa besar keuntungan yang diperoleh keluarga Sumi setiap bulannya?
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mesin roti bekas,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti
Minggu, 10 Juni 2012
KISAH PENGUSAHA SUKSES BIDANG KULINER
Menjadi seorang pengusaha sukses, tentunya menjadi impian besar bagi semua orang. Namun sayangnya tidak banyak orang yang bisa berhasil meraih impian tersebut, mengingat untuk mencapai sebuah kesuksesan dibutuhkan kerja keras dan tekad yang kuat guna menghadapi semua rintangan dan hambatan yang sering muncul di tengah perjalanan menuju sukses. Hal inilah yang memotivasi sepasang suami istri, Jody Brontosuseno dan Siti Hariyani dalam mengembangkan usaha.
Jatuh bangun dalam menjalankan sebuah usaha, sudah menjadi bagian dari perjuangan mereka mencapai kesuksesan. Berbagai peluang usaha dari mulai berdagang roti bakar, berjualan susu, sampai berbisnis kaos partai musiman pernah mereka jalani, dan semuanya tidak bisa bertahan lama hingga harus ditutup sebelum mencapai suksesnya.
Meskipun begitu, pengalaman pahit tersebut tidak membuat sepasang suami istri ini berhenti mencoba peruntungannya di dunia bisnis. Mengawali kesuksesan bisnisnya pada tahun 2000, Jody dan Anik mencoba membuka warung steak sederhana dengan memanfaatkan teras rumahnya, yang berlokasi di Jl. Cendrawasih 30 Demangan Yogyakarta sebagai lokasi usaha. Berbekal jiwa entrepreneur yang telah mereka miliki, pasangan serasi ini nekat membangun sebuah rumah makan steak dengan nama “Waroeng Steak n Shake” yang kini lebih dikenal dengan istilah WS, lain daripada restoran steak lainnya.
Jika biasanya kuliner ala Eropa ini hanya bisa dinikmati masyarakat menengah atas, di berbagai restoran mewah atau di hotel-hotel berbintang dengan harga yang relatif mahal. Jody dan Anik, berhasil menciptakan sebuah gebrakan baru di bisnis kuliner, dengan menawarkan salah satu makanan barat yang banyak diminati masyarakat yaitu steak, dengan harga yang sangat bersahabat dan jauh dari kata mahal.
Mereka sengaja menawarkan steak di warung sederhananya, untuk membangun image baru di mata konsumen bahwa menu ala Eropa juga bisa disajikan di warung makan biasa, dengan cita rasa yang tidak kalah bersaing dengan steak di hotel-hotel berbintang lima.
Siapa sangka jika strategi tersebut cukup menarik minat konsumen, hingga waroeng steak yang dulunya hanya bermodalkan 5 buah hot plate dan 5 buah meja makan, dengan daya tampung 20 pengunjung. Kini berhasil berkembang pesat, mencapai lebih dari 30 cabang yang tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Seperti di daerah Jakarta, Medan, Bogor, Bandung, Semarang, Malang, Solo, Palembang, Yogyakarta, Bali, serta Pekanbaru. Dengan omset ratusan hingga milyaran rupiah setiap bulannya.
Terobosan baru yang ditawarkan Waroeng steak, melalui mottonya “Bukan steak biasa” ini berhasil merubah pandangan masyarakat, yang dulunya beranggapan bahwa makanan steak hanya bisa dikonsumsi orang kaya. Menjadi makanan baru yang bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat dengan harga yang sangat terjangkau dan tentunya pas dikantong semua konsumen.
Dengan menanamkan image murah yang begitu kuat di hati para konsumennya. Kini duet suami istri ini tercatat sebagai salah satu entrepreneur sukses yang keberadaannya patut diperhitungkan. Karena mereka tidak hanya sukses mengembangkan puluhan cabang WS di berbagai daerah saja, saat ini Jody dan Anik juga merambah bisnis makanan lainnya yang menawarkan berbagai menu bakaran, serta membangun bisnis futsal di seputaran kota Yogyakarta.
Jatuh bangun dalam menjalankan sebuah usaha, sudah menjadi bagian dari perjuangan mereka mencapai kesuksesan. Berbagai peluang usaha dari mulai berdagang roti bakar, berjualan susu, sampai berbisnis kaos partai musiman pernah mereka jalani, dan semuanya tidak bisa bertahan lama hingga harus ditutup sebelum mencapai suksesnya.
Meskipun begitu, pengalaman pahit tersebut tidak membuat sepasang suami istri ini berhenti mencoba peruntungannya di dunia bisnis. Mengawali kesuksesan bisnisnya pada tahun 2000, Jody dan Anik mencoba membuka warung steak sederhana dengan memanfaatkan teras rumahnya, yang berlokasi di Jl. Cendrawasih 30 Demangan Yogyakarta sebagai lokasi usaha. Berbekal jiwa entrepreneur yang telah mereka miliki, pasangan serasi ini nekat membangun sebuah rumah makan steak dengan nama “Waroeng Steak n Shake” yang kini lebih dikenal dengan istilah WS, lain daripada restoran steak lainnya.
Jika biasanya kuliner ala Eropa ini hanya bisa dinikmati masyarakat menengah atas, di berbagai restoran mewah atau di hotel-hotel berbintang dengan harga yang relatif mahal. Jody dan Anik, berhasil menciptakan sebuah gebrakan baru di bisnis kuliner, dengan menawarkan salah satu makanan barat yang banyak diminati masyarakat yaitu steak, dengan harga yang sangat bersahabat dan jauh dari kata mahal.
Mereka sengaja menawarkan steak di warung sederhananya, untuk membangun image baru di mata konsumen bahwa menu ala Eropa juga bisa disajikan di warung makan biasa, dengan cita rasa yang tidak kalah bersaing dengan steak di hotel-hotel berbintang lima.
Siapa sangka jika strategi tersebut cukup menarik minat konsumen, hingga waroeng steak yang dulunya hanya bermodalkan 5 buah hot plate dan 5 buah meja makan, dengan daya tampung 20 pengunjung. Kini berhasil berkembang pesat, mencapai lebih dari 30 cabang yang tersebar di berbagai kota besar di Indonesia. Seperti di daerah Jakarta, Medan, Bogor, Bandung, Semarang, Malang, Solo, Palembang, Yogyakarta, Bali, serta Pekanbaru. Dengan omset ratusan hingga milyaran rupiah setiap bulannya.
Terobosan baru yang ditawarkan Waroeng steak, melalui mottonya “Bukan steak biasa” ini berhasil merubah pandangan masyarakat, yang dulunya beranggapan bahwa makanan steak hanya bisa dikonsumsi orang kaya. Menjadi makanan baru yang bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat dengan harga yang sangat terjangkau dan tentunya pas dikantong semua konsumen.
Dengan menanamkan image murah yang begitu kuat di hati para konsumennya. Kini duet suami istri ini tercatat sebagai salah satu entrepreneur sukses yang keberadaannya patut diperhitungkan. Karena mereka tidak hanya sukses mengembangkan puluhan cabang WS di berbagai daerah saja, saat ini Jody dan Anik juga merambah bisnis makanan lainnya yang menawarkan berbagai menu bakaran, serta membangun bisnis futsal di seputaran kota Yogyakarta.
Label:
alat roti,
bisnis roti,
Info pameran roti,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti
Selasa, 05 Juni 2012
WISNU SUKSES DENGAN KUE BINGKA BEROMZET RATUSAN JUTA RUPIAH
Setiap daerah pasti memiliki makanan atau kue khas daerah dengan keunikannya masing-masing. Tak terkecuali Batam, Kepulauan Riau. Daerah ini juga memiliki kue khas bernama kue bingka bakar. Sayangnya, kue khas daerah ini terus meredup lantaran kalah pamor dengan produk makanan impor dari negeri tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Prihatin melihat kondisi tersebut, Rosnendya Wisnu Wardhana berupaya mengembalikan kejayaan kue bingka bakar.
“Selama ini yang lebih terkenal di Batam itu produk negeri tetangga, seperti cokelat dari Singapura atau Malaysia, Sementara makanan khas Batam tenggelam,” kata lekaki yang acap disapa Wisnu ini.
Pada 2009 ia pun mulai mengembangkan kue bingka bakar. Di bawah bendera usaha Kue Bingka Bakar Nay@adam, ia memproduksi kue bingka bakar sebanyak 11.000 loyang setiap hari. Dengan harga jual Rp 20.000 per loyang, omzetnya dalam sebulan mencapai ratusan juta rupiah. “Alhamdulillah cukup untuk menghidupi keluarga dan sekitar 60 karyawan,” katanya.
Berkat kerja kerasnya, kue bingka kini sudah menjadi salah satu jajanan khas Kota Batam. Banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri yang membeli kue bingka. "Sekarang kue bingka sudah lumayan dikenal hingga ke luar Batam," katanya.
Popularitas kue ini bahkan sudah sampai di Singapura. Selain dibawa turis Singapura yang melancong ke Batam, ia juga pernah memperkenalkan langsung kue ini dengan mengikuti pameran kuliner di Negeri Singa tersebut.
Produk kue bingka buatannya bisa diterima pasar karena sudah dimodifikasi sesuai dengan selera masyarakat modern. Aslinya, kue berbahan baku santan yang dibuat berbentuk bunga matahari segi delapan ini hanya memiliki satu varian rasa. Yakni, rasa pandan yang dibuat manis dan paling lama tahan satu hari.
Tapi, di tangannya, kue bingka kini hadir dengan 12 varian rasa, seperti keju, stroberi, buah naga, kiwi, wijen, durian, mochacino, hingga blueberry. Dengan pilihan rasa yang kian variatif, kue bingka kini semakin diterima pasar. Padahal sebelumnya, kue ini hampir punah. Kalaupun ada, paling hanya dijual di pasar-pasar tradisional. "Saya bereksperimen mengembangkan varian rasa kue ini dengan dibantu keluarga," ujarnya.
Selain kue bingka, ia juga memproduksi makanan khas daerah Batam lainnya. Di antaranya kek, sejenis kue blackforest tapi berbahan dasar pisang. Ia berharap, semua kue buatannya tetap bisa menjadi rujukan oleh-oleh khas Batam bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.
Berkat usahanya ini, ia pun diganjar sejumlah prestasi. Beberapa di antaranya adalah pemenang terbaik 1 Wirausaha Muda Mandiri Bidang Usaha Boga Mandiri 2010, UMKM Kreatif versi Kadin Provinsi Kepulauan Riau 2010, The Best Entrepreneur of The Years 2011 oleh Indonesia Community Center. Prestasi lain yang didapatnya adalah The Indonesian Small & Medium Business & Entrepreneur Award (ISMBEA) 2012.
Sukses yang diraih Rosnendya Wisnu Wardhana tidak didapat dalam waktu sekejap. Perlu waktu dan kerja keras agar bisa sukses seperti sekarang. Beberapa kali, ia mengalami jatuh bangun dalam menjalankan usaha. Sebelum merintis usaha Kue Bingka Bakar Nay@dam, Wisnu pernah mencoba menjalankan usaha cuci motor dan mobil, cuci helm, hingga membuka gerai angkringan. "Karena pengelolaannya tidak fokus, Alhamdulillah semua usaha ini akhirnya tutup," ujarnya.
Tetapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Belajar dari pengalaman, ia mencoba bangkit kembali dan fokus di satu jenis usaha.
Hal itulah yang dilakukannya saat merintis usaha pembuatan kue khas Batam, seperti kue bingka dan kue bilis. Ia merintis usaha ini di awal tahun 2009 dengan modal awal Rp 5 juta. Modal yang tak seberapa itu dipakainya buat membeli bahan baku, mixer, dan Loyang cetakan kue. Sisanya dipakai buat menyewa sebuah konter berukuran 2x3 meter di kawasan Pasar Mega Legenda, Batam. Ia sengaja memilih konter terkecil karena modalnya sudah habis buat yang lain. "Karena konter kecil biaya sewanya hanya sekitar Rp 390.000 per bulan," ujarnya.
Awalnya, ia hanya menjual aneka jajanan pasar, seperti kerupuk ikan, keripik talas, hingga keladi pedas. Berbagai camilan itu cukup sering dijual di pasar-pasar Batam saat itu. Setelah hampir dua bulan berjalan, ia kemudian memutuskan untuk membuat kue bingka bakar. Di awal-awal berjualan, kuenya belum begitu laris. Dalam sehari paling hanya 15 loyang kue bingka yang laku terjual. "Saya ingat saat itu harganya Rp 8.000 per loyang," ujarnya.
Namun, saat itu, ia sudah bertekad ingin menjadikan kue bingka bakar sebagai oleh-oleh khas Batam. Ia pun gencar memasarkan produknya ke sejumlah acara, baik di tingkat kelurahan, kecamatan, atau provinsi. Seperti acara penyuluhan keluarga berencana maupun perhelatan mushabaqoh tilawatil quran (MTQ) tingkat provinsi. Lambat laun, upayanya itu mulai membuahkan hasil. Pada Agustus 2009, Pemerintah Kota Batam mengajaknya untuk ikut serta dalam acara Asia Food Festival di Singapura. Setelah mengikuti acara itu, kue buatannya semakin dikenal masyarakat, baik warga Batam maupun wisatawan yang datang.
Ia mengaku, saat itu masih minder bila ada wisatawan yang mendatangi gerainya. "Karena masih kecil sekali, seperti konter pulsa begitu kok," katanya.
Baru di tahun 2010, ia memindahkan lokasi usahanya ke sebuah ruko yang lebih luas. Selain luas, lokasi baru ini juga lebih rapi dan bersih. Setelah pindah ke ruko inilah usahanya semakin berkembang. Namun, butuh perjuangan bagi Wisnu untuk memindahkan usahanya ke ruko tersebut. Soalnya, ruko itu dibeli dengan cara mencari pinjaman ke bank. Untuk keperluan itu, ia terpaksa menjaminkan surat keputusan (SK) pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) milik istrinya ke bank tersebut.
Maklum, mengandalkan omzetnya dari berjualan di pasar belum cukup. "Saat itu omzet bulanan saya rata-rata masih sekitar Rp 5 juta per bulan," ujarnya.
Tapi, semua upayanya itu tidak sisa-sia. Dengan menempati ruko, makin banyak pelanggan yang percaya dengan kualitas produknya. Selain warga Batam sendiri, banyak wisatawan asing dan lokal yang membeli penganan khas Batam hasil karyanya ini. "Kalau dulu takut ada wisatawan yang datang karena gerai -nya kecil , sekarang malah sangat berharap makin banyak wisatawan yang datang," ujarnya.
Saat ini, kue bingka buatannya sudah menjadi salah satu jajanan khas Kota Batam. Jumlah gerainya juga terus bertambah. Sampai saat ini, sudah ada enam gerai Kue Bingka Bakar Nay@adam miliknya di Kota Batam.
Untuk membesarkan usahanya, ia juga menggandeng pelaku usaha kecil menengah (UKM) di Batam. Para pelaku UKM tersebut diberi kesempatan untuk menitip jual makanan, minuman, serta aneka produk kerajinan lainnya di gerai -gerai miliknya. Alhasil, gerai Nay@dam pun kini makin semarak. Selain makanan, juga ada aneka suvenir seperti kaos dan gantungan kunci khas Batam. "Saya berharap, ada sesuatu yang bisa dijadikan kenang-kenangan setelah seseorang berkunjung ke Batam," ujarnya.
Melalui usahanya itu, Wisnu memang berharap bisa turut membantu mengembangkan pelaku usaha lain. Terutama mereka yang aktivitas produksinya terkait dengan pernak-pernik khas Batam. Kendati sudah sukses, Wisnu masih tetap ingin membesarkan usahanya tersebut. Salah satu keinginannya adalah membuka gerai di luar Kota Batam, termasuk Jakarta.
Selain untuk bisnis, gerai tersebut diharapkan bisa ikut mempromosikan Batam. "Cita-cita sih ingin membuka gerai di Jakarta, rencananya di tahun ini," ucapnya.
Ia juga mengaku, sudah banyak pihak yang memintanya menawarkan kerja sama waralaba. Namun, ia belum mau memenuhi permintaan tersebut. "Kalau business opportunity mungkin masih bisa ya," katanya ayah dari dua orang anak ini.
“Selama ini yang lebih terkenal di Batam itu produk negeri tetangga, seperti cokelat dari Singapura atau Malaysia, Sementara makanan khas Batam tenggelam,” kata lekaki yang acap disapa Wisnu ini.
Pada 2009 ia pun mulai mengembangkan kue bingka bakar. Di bawah bendera usaha Kue Bingka Bakar Nay@adam, ia memproduksi kue bingka bakar sebanyak 11.000 loyang setiap hari. Dengan harga jual Rp 20.000 per loyang, omzetnya dalam sebulan mencapai ratusan juta rupiah. “Alhamdulillah cukup untuk menghidupi keluarga dan sekitar 60 karyawan,” katanya.
Berkat kerja kerasnya, kue bingka kini sudah menjadi salah satu jajanan khas Kota Batam. Banyak wisatawan dari dalam maupun luar negeri yang membeli kue bingka. "Sekarang kue bingka sudah lumayan dikenal hingga ke luar Batam," katanya.
Popularitas kue ini bahkan sudah sampai di Singapura. Selain dibawa turis Singapura yang melancong ke Batam, ia juga pernah memperkenalkan langsung kue ini dengan mengikuti pameran kuliner di Negeri Singa tersebut.
Produk kue bingka buatannya bisa diterima pasar karena sudah dimodifikasi sesuai dengan selera masyarakat modern. Aslinya, kue berbahan baku santan yang dibuat berbentuk bunga matahari segi delapan ini hanya memiliki satu varian rasa. Yakni, rasa pandan yang dibuat manis dan paling lama tahan satu hari.
Tapi, di tangannya, kue bingka kini hadir dengan 12 varian rasa, seperti keju, stroberi, buah naga, kiwi, wijen, durian, mochacino, hingga blueberry. Dengan pilihan rasa yang kian variatif, kue bingka kini semakin diterima pasar. Padahal sebelumnya, kue ini hampir punah. Kalaupun ada, paling hanya dijual di pasar-pasar tradisional. "Saya bereksperimen mengembangkan varian rasa kue ini dengan dibantu keluarga," ujarnya.
Selain kue bingka, ia juga memproduksi makanan khas daerah Batam lainnya. Di antaranya kek, sejenis kue blackforest tapi berbahan dasar pisang. Ia berharap, semua kue buatannya tetap bisa menjadi rujukan oleh-oleh khas Batam bagi para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.
Berkat usahanya ini, ia pun diganjar sejumlah prestasi. Beberapa di antaranya adalah pemenang terbaik 1 Wirausaha Muda Mandiri Bidang Usaha Boga Mandiri 2010, UMKM Kreatif versi Kadin Provinsi Kepulauan Riau 2010, The Best Entrepreneur of The Years 2011 oleh Indonesia Community Center. Prestasi lain yang didapatnya adalah The Indonesian Small & Medium Business & Entrepreneur Award (ISMBEA) 2012.
Sukses yang diraih Rosnendya Wisnu Wardhana tidak didapat dalam waktu sekejap. Perlu waktu dan kerja keras agar bisa sukses seperti sekarang. Beberapa kali, ia mengalami jatuh bangun dalam menjalankan usaha. Sebelum merintis usaha Kue Bingka Bakar Nay@dam, Wisnu pernah mencoba menjalankan usaha cuci motor dan mobil, cuci helm, hingga membuka gerai angkringan. "Karena pengelolaannya tidak fokus, Alhamdulillah semua usaha ini akhirnya tutup," ujarnya.
Tetapi, hal itu tidak membuatnya putus asa. Belajar dari pengalaman, ia mencoba bangkit kembali dan fokus di satu jenis usaha.
Hal itulah yang dilakukannya saat merintis usaha pembuatan kue khas Batam, seperti kue bingka dan kue bilis. Ia merintis usaha ini di awal tahun 2009 dengan modal awal Rp 5 juta. Modal yang tak seberapa itu dipakainya buat membeli bahan baku, mixer, dan Loyang cetakan kue. Sisanya dipakai buat menyewa sebuah konter berukuran 2x3 meter di kawasan Pasar Mega Legenda, Batam. Ia sengaja memilih konter terkecil karena modalnya sudah habis buat yang lain. "Karena konter kecil biaya sewanya hanya sekitar Rp 390.000 per bulan," ujarnya.
Awalnya, ia hanya menjual aneka jajanan pasar, seperti kerupuk ikan, keripik talas, hingga keladi pedas. Berbagai camilan itu cukup sering dijual di pasar-pasar Batam saat itu. Setelah hampir dua bulan berjalan, ia kemudian memutuskan untuk membuat kue bingka bakar. Di awal-awal berjualan, kuenya belum begitu laris. Dalam sehari paling hanya 15 loyang kue bingka yang laku terjual. "Saya ingat saat itu harganya Rp 8.000 per loyang," ujarnya.
Namun, saat itu, ia sudah bertekad ingin menjadikan kue bingka bakar sebagai oleh-oleh khas Batam. Ia pun gencar memasarkan produknya ke sejumlah acara, baik di tingkat kelurahan, kecamatan, atau provinsi. Seperti acara penyuluhan keluarga berencana maupun perhelatan mushabaqoh tilawatil quran (MTQ) tingkat provinsi. Lambat laun, upayanya itu mulai membuahkan hasil. Pada Agustus 2009, Pemerintah Kota Batam mengajaknya untuk ikut serta dalam acara Asia Food Festival di Singapura. Setelah mengikuti acara itu, kue buatannya semakin dikenal masyarakat, baik warga Batam maupun wisatawan yang datang.
Ia mengaku, saat itu masih minder bila ada wisatawan yang mendatangi gerainya. "Karena masih kecil sekali, seperti konter pulsa begitu kok," katanya.
Baru di tahun 2010, ia memindahkan lokasi usahanya ke sebuah ruko yang lebih luas. Selain luas, lokasi baru ini juga lebih rapi dan bersih. Setelah pindah ke ruko inilah usahanya semakin berkembang. Namun, butuh perjuangan bagi Wisnu untuk memindahkan usahanya ke ruko tersebut. Soalnya, ruko itu dibeli dengan cara mencari pinjaman ke bank. Untuk keperluan itu, ia terpaksa menjaminkan surat keputusan (SK) pengangkatan pegawai negeri sipil (PNS) milik istrinya ke bank tersebut.
Maklum, mengandalkan omzetnya dari berjualan di pasar belum cukup. "Saat itu omzet bulanan saya rata-rata masih sekitar Rp 5 juta per bulan," ujarnya.
Tapi, semua upayanya itu tidak sisa-sia. Dengan menempati ruko, makin banyak pelanggan yang percaya dengan kualitas produknya. Selain warga Batam sendiri, banyak wisatawan asing dan lokal yang membeli penganan khas Batam hasil karyanya ini. "Kalau dulu takut ada wisatawan yang datang karena gerai -nya kecil , sekarang malah sangat berharap makin banyak wisatawan yang datang," ujarnya.
Saat ini, kue bingka buatannya sudah menjadi salah satu jajanan khas Kota Batam. Jumlah gerainya juga terus bertambah. Sampai saat ini, sudah ada enam gerai Kue Bingka Bakar Nay@adam miliknya di Kota Batam.
Untuk membesarkan usahanya, ia juga menggandeng pelaku usaha kecil menengah (UKM) di Batam. Para pelaku UKM tersebut diberi kesempatan untuk menitip jual makanan, minuman, serta aneka produk kerajinan lainnya di gerai -gerai miliknya. Alhasil, gerai Nay@dam pun kini makin semarak. Selain makanan, juga ada aneka suvenir seperti kaos dan gantungan kunci khas Batam. "Saya berharap, ada sesuatu yang bisa dijadikan kenang-kenangan setelah seseorang berkunjung ke Batam," ujarnya.
Melalui usahanya itu, Wisnu memang berharap bisa turut membantu mengembangkan pelaku usaha lain. Terutama mereka yang aktivitas produksinya terkait dengan pernak-pernik khas Batam. Kendati sudah sukses, Wisnu masih tetap ingin membesarkan usahanya tersebut. Salah satu keinginannya adalah membuka gerai di luar Kota Batam, termasuk Jakarta.
Selain untuk bisnis, gerai tersebut diharapkan bisa ikut mempromosikan Batam. "Cita-cita sih ingin membuka gerai di Jakarta, rencananya di tahun ini," ucapnya.
Ia juga mengaku, sudah banyak pihak yang memintanya menawarkan kerja sama waralaba. Namun, ia belum mau memenuhi permintaan tersebut. "Kalau business opportunity mungkin masih bisa ya," katanya ayah dari dua orang anak ini.
Label:
alat roti,
info alat roti,
Katalog Produk,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti
Sabtu, 02 Juni 2012
TAWARKAN COKELAT LEWAT INTERNET
Pengguna internet adalah pasar yang bisa digarap untuk memulai sebuah bisnis. Berbekal keyakinan itu, sebagian anak muda merintis usaha dengan membuka toko di dunia maya. Apalagi, pengguna internet di Indonesia berkembang pesat. Jumlah pengguna internet yang tumbuh pesat membuat Bayu Amperiawan optimistis bisnis toko cokelat yang ia kembangkan bersama Lisnawati, istrinya, bakal maju. Dengan memasang merek dagang Ayla, Bayu mendesain sendiri toko virtualnya dengan nama www.tokocoklat.com. Sesuai dengan produk yang dijualnya, Bayu memakai warna serba coklat untuk toko virtualnya. Ia lalu memasang foto berbagai jenis produk cokelat buatan istrinya sendiri, berikut harga yang ditawarkan dan tabel ongkos kirim ke luar kota. Selain cokelat, Lisnawati juga memproduksi kue basah dan kue kering. Bayu dan Lisnawati memulai bisnis di dunia maya pada tahun 2006. Sebelumnya, Lisnawati hanya memasarkan cokelat dan kue kering buatannya dari pintu ke pintu. Namun, karena penjualan mereka tidak tumbuh baik, Bayu berinisiatif memasarkan produk itu melalui internet. Sejak awal diluncurkan, toko cokelat virtual itu sudah berkembang pesat. Lisnawati memang yakin bahwa produk cokelat bisa diterima pasar karena awet hingga 16 bulan. Cokelat juga tidak mengenal musim seperti kue kering yang hanya laris saat Lebaran atau Natal. ”Kapan saja orang ingin mengungkapkan perasaan hatinya, mereka bisa mengirimkan cokelat,” kata Bayu. Toko Coklat menjual produknya dengan harga Rp 2.000 untuk cokelat batangan dan Rp 20.000-Rp 90.000 untuk cokelat dalam kemasan kotak atau stoples. Karena bisnis yang dibangun bersama istrinya menunjukkan kemajuan, Bayu memutuskan keluar dari pekerjaannya setelah 15 tahun bekerja di perusahaan teknologi informasi di Jakarta. Ia ingin total mengelola situs dan melayani pesanan toko virtualnya, sementara sang istri lebih berkonsentrasi pada pengembangan produk. (*/Kompas Cetak) |
Rabu, 30 Mei 2012
SUSU LISTRIK : KARYA INOVATIF DARI ANAK MUDA MALANG
Banyak sekali inovasi yang berawal bukan dari hal-hal yang rumit dan membuat alis berkerut. Inovasi yang sukses justru biasanya berawal dari solusi-solusi sederhana yang efektif dan memberikan dampak besar pada perbaikan kualitas hidup orang banyak. Itulah kira-kira yang menjadi pesan yang ingin disampaikan oleh Hadi Apriliawan saat memikirkan sebuah solusi bagi masalah sehari-hari yang dihadapi oleh orang tuanya dan tetangganya yang mayoritas adalah para peternak sapi perah di Perum Pondok Alam Sigura-Gura, Malang, Jatim. Susu yang menjadi komoditas sehari-hari yang bisa dipanen peternak ini mudah menjadi basi saat tidak diberikan perlakuan tambahan. “Saya tergerak untuk memecahkan masalah tersebut karena itu yang menjadi keluhan sehari-hari orang-orang di sekitar saya termasuk orang tua saya,” paparnya. Hadi yang masih berusia 22 tahun ini kemudian memulai bekerja merancang sebuah solusi. Ia kemudian berhasil menelurkan suatu prosedur teknis yang kemudian ia namai sebagai “Susu Listrik” atau yang sering disingkat Sulis. Susu Listrik ini merupakan produk dari alat hasil rancangannya yang diberi nama laban elektrik. Teknologinya berbeda dari yang lain seperti Pasteurisasi yang menggunakan panas karena tidak melibatkan panas. Dengan demikian, menurut Hadi, akan ada lebih sedikit zat gizi dalam susu yang rusak atau hilang. Keikutsertaannya dalam kontes Technopreneurship 2011 yang diadakan oleh Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) juga membuat teknologi ini lebih banyak dikenal pelaku usaha peternakan sapi perah yang menginginkan agar susu sapi mereka lebih panjang masa konsumsinya. “Inovasi ini makin banyak dilirik oleh peternak sapi di seluruh tanah air,” ujar Hadi dengan nada bangga. Berkat kemenangannya dalam event tersebut, Hadi dan kawan-kawannya tergabung dalam CV Inovasi Anak Negeri (susulistrik.com) ini berhasil sabet hadiah berupa dana sebesar Rp 150 juta. Beberapa waktu lalu, Hadi juga turut serta dalam lomba Global Innovation through Science and Technology yang digelar di Dubai, Uni Emirat Arab.(*AP) |
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti
Minggu, 27 Mei 2012
Mas Mono, Pengusaha Kuliner Peraih Asia Pasifik Entrepreneur Award
Perjuangan tidak kenal lelah Agus Pramono berbuah manis. Anak tukang gulali di Madiun, Jawa Timur, itu berhasil mengembangkan usaha di tengah kejamnya hidup di ibu kota. Kini, pria yang akrab disapa Mas Mono ini dikenal sebagai pengusaha kuliner ayam bakar.
Saat ini sudah 29 outlet resto milik Mono yang jalan dengan omzet ratusan juta per bulan. ”Saya juga baru ekspansi ke bakso, namanya moncrot,” ujarnya seperti dilansir padangekspres.com.
Tidak hanya itu, Mono juga punya biro travel umrah dan haji, dua taman kanak-kanak Islam terpadu, serta bisnis jasa katering. Total karyawan Mono 1.020 orang.
Mono lantas mengeluarkan buku karyanya berjudul "Rezeki Diantar." Buku itu belum diluncurkan secara resmi. Tapi sudah beredar di kalangan teman-teman bisnisnya. ”Alhamdulillah, yang pesan sudah lebih dari 10 ribu,” katanya.
Sukses Mono tidak datang dengan sendirinya. Namun, lewat perjuangan keras. Merantau ke Jakarta setelah lulus SMA dari Madiun, Mono numpang di rumah kontrakan kakaknya di kawasan Bendungan Hilir. Dia sempat magang di sebuah restoran cepat saji asal AS. Namun, badai krisis moneter pada 1997-1998 membuat perusahaan tempat dia bekerja melakukan PHK besar-besaran. Mono termasuk korbannya.
Tapi, Mono tidak menyerah. Setelah melamar ke berbagai tempat, anak kelima di antara enam bersaudara itu diterima sebagai office boy di sebuah kantor. ”Pekerjaannya ngepel, bikin kopi, sampai antar surat. Pokoknya, semua saya lakoni,” katanya.
Di waktu senggang, Mono minta diajari teman kantornya memakai komputer. ”Saya belajar dari nol,” kata pria yang sering dipanggil Bondet oleh teman kecilnya di Madiun itu. Medio 2001, Mono mengambil keputusan besar. Dia berhenti dari pekerjaannya dan ganti haluan dengan berdagang gorengan. ”Saya pinjam gerobak dorong, ternyata ada seninya lho mendorong gerobak itu,” katanya. Misalnya, jika jalan menanjak, posisi harus ditarik dan tidak boleh dipaksa didorong. ”Awalnya belum tahu. Jadi, gorengan tumpah semua,” katanya.
Saat itu, Mono memberanikan diri mempersunting gadis idamannya, Nunung. Mereka tinggal di kamar petakan 3 x 4 meter. ”Kalau gorengan belum habis, saya taruh di bawah tampah (tempat dari bambu) supaya dikira laris oleh tetangga kos,” katanya, lalu tersenyum.
Suatu ketika, ayah Mono sakit keras. Karena kantongnya tipis, dia tidak bisa pulang menjenguk ke Madiun hingga akhirnya sang ayah wafat. ”Momen ini membuat hati saya sangat sedih. Saya berdoa di makam ayah, saya bertekad harus sukses,” kata Mono.
Siapa sangka, Nunung yang hobi masak ternyata jago membuat ayam bakar. Hal itu menginspirasi Mono. Dia pun mengganti usaha gorengan menjadi ayam bakar. ”Modalnya 500 ribu dan lima ekor ayam,” ungkapnya.
Mono lantas mengganti gerobaknya ke sebuah warung tenda dekat Universitas Sahid, Jakarta. Jualannya laris manis. Saat itu, 80 ayam ludes dalam hitungan jam. Tapi, pada 2004, lokasi dagangnya digusur karena hendak dibuat SPBU. Mono lalu pindah ke Tebet Raya 57. Pada 2006, Mono membuka cabang lain. Namun, isu flu burung membuat bisnisnya terganggu. Omzet restoran Mono anjlok drastis selama beberapa bulan.
Peraih Asia Pasifik Entrepreneur Award 2010 ini terus istiqomah jualan ayam dengan menjaga kebersihan. ”Karyawan tidak boleh gondrong. Harus potong kuku dan cukur jambang. Pokoknya harus bersih,” ujar Mono.
Cabang demi cabang dapat dibangun. Dua tahun lalu, salah seorang konsumen di cabang Depok komplain gara-gara uang kembalian kurang Rp 200. Ayam Mono pun jadi gunjingan di situs-situs media sosial seperti kaskus dan facebook. ”Saya sempat shock dan nggak mau lihat laptop. Down,” katanya. Setelah agak tenang, Mono lantas minta maaf dan menjelaskan bahwa karyawannya sudah diberi sanksi.
Namun, tidak lama setelah itu, anak buah Mono berulah lagi. Kali ini tidak main-main: menusuk sopir taksi! Kasus uang kembalian dan karyawan yang menusuk sopir taksi membuat Mono sadar bahwa bisnisnya butuh karyawan yang benar-benar jujur. ”Mulailah saya pakai prinsip bisnis spiritual company seperti yang diajarkan Ustad Yusuf Mansur,” katanya.
Setiap calon karyawan harus menandatangani surat komitmen yang isinya 80 poin. Tiga poin di antaranya berlaku mutlak. Jika melanggar, karyawan yang bersangkutan harus langsung keluar. Yakni, salat lima waktu, tidak merokok, dan absen salat duha di outlet yang buka jam 8 pagi. ”Kalau tidak Shalat Duha berarti dianggap tidak masuk kerja,” kata ayah dari Novieta itu. Karyawan juga wajib mengikuti pengajian mingguan.
Mono berpendapat bahwa rezeki tidak hanya harus didapat dengan halal, tapi juga harus berkah. ”Banyak orang kerja keras, pergi pagi lebih dulu dari ayam, pulang tengah malam. Tapi, maaf, tetap miskin,” katanya. Padahal, rezeki itu sudah dijatah Tuhan untuk diambil.
Mono kini juga aktif sebagai mentor, trainer, dan motivator entrepreneur. Tidak hanya di Indonesia, dia juga ceramah di Singapura, Malaysia, Australia, Makkah, Kuwait, dan Dubai. ”Saya ini hanya lulusan SMA, tapi dipercaya untuk ngomong dengan bos-bos dan orang-orang pintar. Di situlah saya belajar,” tuturnya.
Kini hidup Mono sudah mapan. Apa target selanjutnya? ”Target saya buka cabang di kota-kota besar dunia. Sekarang baru di Singapura dan Malaysia,” kata pemilik Hummer, Alphard, dan Toyota Fortuner ini.
Dia kini lebih punya waktu untuk kegiatan amal karena bisnisnya dijalankan secara franchise dengan bendera PT Panen Raya Indonesia bersama Hendi Setiono, raja kebab dari Surabaya. ”Buku saya semua royalti untuk sedekah,” kata pemilik akun Twitter @masmono_08 ini.
Saat ini sudah 29 outlet resto milik Mono yang jalan dengan omzet ratusan juta per bulan. ”Saya juga baru ekspansi ke bakso, namanya moncrot,” ujarnya seperti dilansir padangekspres.com.
Tidak hanya itu, Mono juga punya biro travel umrah dan haji, dua taman kanak-kanak Islam terpadu, serta bisnis jasa katering. Total karyawan Mono 1.020 orang.
Mono lantas mengeluarkan buku karyanya berjudul "Rezeki Diantar." Buku itu belum diluncurkan secara resmi. Tapi sudah beredar di kalangan teman-teman bisnisnya. ”Alhamdulillah, yang pesan sudah lebih dari 10 ribu,” katanya.
Sukses Mono tidak datang dengan sendirinya. Namun, lewat perjuangan keras. Merantau ke Jakarta setelah lulus SMA dari Madiun, Mono numpang di rumah kontrakan kakaknya di kawasan Bendungan Hilir. Dia sempat magang di sebuah restoran cepat saji asal AS. Namun, badai krisis moneter pada 1997-1998 membuat perusahaan tempat dia bekerja melakukan PHK besar-besaran. Mono termasuk korbannya.
Tapi, Mono tidak menyerah. Setelah melamar ke berbagai tempat, anak kelima di antara enam bersaudara itu diterima sebagai office boy di sebuah kantor. ”Pekerjaannya ngepel, bikin kopi, sampai antar surat. Pokoknya, semua saya lakoni,” katanya.
Di waktu senggang, Mono minta diajari teman kantornya memakai komputer. ”Saya belajar dari nol,” kata pria yang sering dipanggil Bondet oleh teman kecilnya di Madiun itu. Medio 2001, Mono mengambil keputusan besar. Dia berhenti dari pekerjaannya dan ganti haluan dengan berdagang gorengan. ”Saya pinjam gerobak dorong, ternyata ada seninya lho mendorong gerobak itu,” katanya. Misalnya, jika jalan menanjak, posisi harus ditarik dan tidak boleh dipaksa didorong. ”Awalnya belum tahu. Jadi, gorengan tumpah semua,” katanya.
Saat itu, Mono memberanikan diri mempersunting gadis idamannya, Nunung. Mereka tinggal di kamar petakan 3 x 4 meter. ”Kalau gorengan belum habis, saya taruh di bawah tampah (tempat dari bambu) supaya dikira laris oleh tetangga kos,” katanya, lalu tersenyum.
Suatu ketika, ayah Mono sakit keras. Karena kantongnya tipis, dia tidak bisa pulang menjenguk ke Madiun hingga akhirnya sang ayah wafat. ”Momen ini membuat hati saya sangat sedih. Saya berdoa di makam ayah, saya bertekad harus sukses,” kata Mono.
Siapa sangka, Nunung yang hobi masak ternyata jago membuat ayam bakar. Hal itu menginspirasi Mono. Dia pun mengganti usaha gorengan menjadi ayam bakar. ”Modalnya 500 ribu dan lima ekor ayam,” ungkapnya.
Mono lantas mengganti gerobaknya ke sebuah warung tenda dekat Universitas Sahid, Jakarta. Jualannya laris manis. Saat itu, 80 ayam ludes dalam hitungan jam. Tapi, pada 2004, lokasi dagangnya digusur karena hendak dibuat SPBU. Mono lalu pindah ke Tebet Raya 57. Pada 2006, Mono membuka cabang lain. Namun, isu flu burung membuat bisnisnya terganggu. Omzet restoran Mono anjlok drastis selama beberapa bulan.
Peraih Asia Pasifik Entrepreneur Award 2010 ini terus istiqomah jualan ayam dengan menjaga kebersihan. ”Karyawan tidak boleh gondrong. Harus potong kuku dan cukur jambang. Pokoknya harus bersih,” ujar Mono.
Cabang demi cabang dapat dibangun. Dua tahun lalu, salah seorang konsumen di cabang Depok komplain gara-gara uang kembalian kurang Rp 200. Ayam Mono pun jadi gunjingan di situs-situs media sosial seperti kaskus dan facebook. ”Saya sempat shock dan nggak mau lihat laptop. Down,” katanya. Setelah agak tenang, Mono lantas minta maaf dan menjelaskan bahwa karyawannya sudah diberi sanksi.
Namun, tidak lama setelah itu, anak buah Mono berulah lagi. Kali ini tidak main-main: menusuk sopir taksi! Kasus uang kembalian dan karyawan yang menusuk sopir taksi membuat Mono sadar bahwa bisnisnya butuh karyawan yang benar-benar jujur. ”Mulailah saya pakai prinsip bisnis spiritual company seperti yang diajarkan Ustad Yusuf Mansur,” katanya.
Setiap calon karyawan harus menandatangani surat komitmen yang isinya 80 poin. Tiga poin di antaranya berlaku mutlak. Jika melanggar, karyawan yang bersangkutan harus langsung keluar. Yakni, salat lima waktu, tidak merokok, dan absen salat duha di outlet yang buka jam 8 pagi. ”Kalau tidak Shalat Duha berarti dianggap tidak masuk kerja,” kata ayah dari Novieta itu. Karyawan juga wajib mengikuti pengajian mingguan.
Mono berpendapat bahwa rezeki tidak hanya harus didapat dengan halal, tapi juga harus berkah. ”Banyak orang kerja keras, pergi pagi lebih dulu dari ayam, pulang tengah malam. Tapi, maaf, tetap miskin,” katanya. Padahal, rezeki itu sudah dijatah Tuhan untuk diambil.
Mono kini juga aktif sebagai mentor, trainer, dan motivator entrepreneur. Tidak hanya di Indonesia, dia juga ceramah di Singapura, Malaysia, Australia, Makkah, Kuwait, dan Dubai. ”Saya ini hanya lulusan SMA, tapi dipercaya untuk ngomong dengan bos-bos dan orang-orang pintar. Di situlah saya belajar,” tuturnya.
Kini hidup Mono sudah mapan. Apa target selanjutnya? ”Target saya buka cabang di kota-kota besar dunia. Sekarang baru di Singapura dan Malaysia,” kata pemilik Hummer, Alphard, dan Toyota Fortuner ini.
Dia kini lebih punya waktu untuk kegiatan amal karena bisnisnya dijalankan secara franchise dengan bendera PT Panen Raya Indonesia bersama Hendi Setiono, raja kebab dari Surabaya. ”Buku saya semua royalti untuk sedekah,” kata pemilik akun Twitter @masmono_08 ini.
Kamis, 24 Mei 2012
A GUAN, ANGKAT PAMOR KUE KACANG HIJAU
Kue kacang hijau sudah sejak lama menjadi salah satu cemilan warga Kota Sabang, Pulau We, Nanggroe Aceh Darussalam. Pada tahun 1980-an, beberapa warung menjual kue kacang hijau buatan ibu rumah tangga itu dengan cara diletakkan di atas nampan atau piring. Warga menilai kue kacang hijau hanyalah camilan biasa, tidak ada istimewanya. Apalagi, kue itu hanya bertahan satu sampai dua hari. Lebih dari itu, tidak lezat lagi disantap karena basi.
Beda dulu, beda sekarang. Tangan dingin Marfin Gunawan atau kerap dipanggil A Guan berhasil mendongkrak citra kue kacang hijau dari sekadar kue kelas toko menjadi kue andalan Kota Sabang. Tidak ada yang menyangka kalau mantan sopir angkutan barang itu mampu mendongkrak pamor kue kacang.
Di hampir semua pusat oleh-oleh khas Sabang, termasuk di Pelabuhan Balohan, pemilik toko memajang Kue Kacang Hijau AG Sabang ini. Para pelancong yang singgah ke Sabang merasa kurang puas kalau tidak membawa pulang Kue Kacang Hijau AG Sabang. Ketenaran Kue Kacang Hijau AG Sabang bahkan sampai ke Yogyakarta melalui anggota TNI Angkatan Udara yang terbang bolak-balik Yogyakarta-Sabang sebulan sekali.
Semua itu butuh ketekunan, keuletan, dan perjuangan panjang. Pria kelahiran Sabang, 13 Juni 1957, itu sendiri tidak pernah menduga kalau harus menggeluti usaha pembuatan kue kacang hijau.
Perjodohan Marfin dengan kue kacang hijau, yang mirip dengan bakpia, itu bermula pada suatu hari pada tahun 1994. Saat itu, seorang pengusaha kacang hijau tingkat rumah tangga memberinya resep rahasia membuat kue kacang hijau kepada Marfin. Pengusaha itu sendiri memilih alih profesi karena merasa usaha lamanya itu tidak prospektif.
Marfin lantas mencoba resep rahasia itu dan menitipkannya di toko-toko. Hasilnya sama saja, kuenya tidak begitu laku. Dalam sehari hanya sekitar 50 biji yang terjual dari 100 biji yang tersedia. ”Dari situ saya mulai mencari cara agar kue kacang ini lebih diminati pembeli,” kata Marfin.
Dia menemukan dua kekurangan mencolok dalam pembuatan kue kacang hijau. Kue tersebut terlalu basah dan rasanya hambar karena menggunakan minyak goreng. Setelah beberapa kali berinovasi, dia menemukan pengganti minyak goreng yang pas, yakni mentega yang membuat kuenya lebih kering dan gurih.
Dampak inovasi itu sangat nyata. Omzet penjualan kue kacang hijau terus melambung. Pada tahun 2000, omzetnya mencapai 200 sampai 300 kotak per hari, dengan harga Rp 11.000 per kotak. Satu kotak berisi 20 biji kue kacang hijau. Semua dia lakukan sendiri, dibantu anggota keluarganya.
Marfin biasa bangun pukul 03.00 untuk membuat adonan kue. Dia baru tidur pada pukul 22.00 pada saat semua bahan untuk esok hari telah siap. Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang.
Namun, masih ada yang mengganggu Marfin karena kuenya hanya bisa bertahan satu sampai dua hari alias cepat basi. Untuk itu, dia menambahkan zat antibasi dalam adonannya. Ide untuk penambahan zat antibasi itu datang dari petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan saat Marfin berkonsultasi tentang cara meningkatkan mutu kuenya. Hasilnya, kue bisa bertahan sampai sepekan. ”Zat antibasi ini bukan pengawet. Saya tidak berani memberi zat pengawet karena katanya bisa mengganggu kesehatan,” kata Marfin.
Usaha pembuatan kue kacang hijau terus berkembang. Marfin perlu tambahan tenaga kerja sehingga dia merekrut 25 ibu rumah tangga di sekitar rumahnya di Jalan Sultan Hasanuddin, Sabang, sebagai pekerja.
Selain itu, dia merasa perlu membeli alat-alat produksi baru untuk pengembangan usaha. Dari awalnya menggunakan oven manual, kemudian Marfin membeli tiga oven semimanual seharga Rp 400.000 per buah. Saat keuntungan kian melimpah, dia membeli oven putar sebanyak empat buah, Rp 11 juta sampai Rp 16 juta per buah.
Ketika tsunami menghantam Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004, usaha Marfin ikut menjadi korban ikutan. Meskipun semua alat produksi selamat dari hantaman tsunami dan semua anggota keluarga selamat, usahanya lesu.
Tak ada seorang pun pegawainya yang masuk kerja karena mereka sibuk menyelamatkan diri dan merawat keluarganya yang menjadi korban. Kalau pun Marfin memaksakan membuat kue, tidak akan ada yang membelinya. ”Saat itu, banyak orang berpikir sulit untuk bisa pulih, tetapi saya yakin masih bisa bertahan dan maju,” katanya.
Tiga bulan usaha Marfin mati dan itu membuatnya sempat berpikir usahanya berakhir. Seiring pulihnya korban tsunami, semangat Marfin pun pulih. Apalagi, para karyawannya kembali bekerja.
Seolah berangkat dari nol lagi, Marfin meyakinkan diri dan karyawannya bahwa usahanya akan maju jika mereka tetap bersemangat. Satu bulan. Dua bulan. Tiga bulan. Omzet Marfin pulih dan bahkan naik menjadi 500 kotak per hari.
Saat itu dia merasa perlu inovasi baru. Jika sebelumnya kotak kemasan kue kacang hanya berupa kardus polos, sekarang dia berpikir untuk membuat merek bergambar dan berlabel halal. Tujuannya agar para pelancong semakin mantap menjadikan Kue Kacang Hijau AG Sabang sebagai oleh-oleh.
Dia lantas menghubungi koleganya di Medan, Sumatera Utara, untuk membantu mencetak dan membuat desain kotak kemasan kue kacang hijau. Sejak saat itu, tepatnya awal 2005, kemasan Kue Kacang Hijau AG Sabang lebih menarik dan menawan seperti yang terlihat di berbagai warung dan toko pusat oleh-oleh.
Kerja keras Marfin tidak hanya diapresiasi oleh pelanggan. Badan POM memberinya penghargaan berupa piagam Bintang Keamanan Pangan karena telah menerapkan prinsip dasar keamanan pangan. Badan POM menilai, proses pembuatan Kue Kacang Hijau AG Sabang menjaga higienitas, keamanan penyimpanan, sanitasi yang bagus, serta peralatan yang aman dan bersih. (*/Kompas.com)
Beda dulu, beda sekarang. Tangan dingin Marfin Gunawan atau kerap dipanggil A Guan berhasil mendongkrak citra kue kacang hijau dari sekadar kue kelas toko menjadi kue andalan Kota Sabang. Tidak ada yang menyangka kalau mantan sopir angkutan barang itu mampu mendongkrak pamor kue kacang.
Di hampir semua pusat oleh-oleh khas Sabang, termasuk di Pelabuhan Balohan, pemilik toko memajang Kue Kacang Hijau AG Sabang ini. Para pelancong yang singgah ke Sabang merasa kurang puas kalau tidak membawa pulang Kue Kacang Hijau AG Sabang. Ketenaran Kue Kacang Hijau AG Sabang bahkan sampai ke Yogyakarta melalui anggota TNI Angkatan Udara yang terbang bolak-balik Yogyakarta-Sabang sebulan sekali.
Semua itu butuh ketekunan, keuletan, dan perjuangan panjang. Pria kelahiran Sabang, 13 Juni 1957, itu sendiri tidak pernah menduga kalau harus menggeluti usaha pembuatan kue kacang hijau.
Perjodohan Marfin dengan kue kacang hijau, yang mirip dengan bakpia, itu bermula pada suatu hari pada tahun 1994. Saat itu, seorang pengusaha kacang hijau tingkat rumah tangga memberinya resep rahasia membuat kue kacang hijau kepada Marfin. Pengusaha itu sendiri memilih alih profesi karena merasa usaha lamanya itu tidak prospektif.
Marfin lantas mencoba resep rahasia itu dan menitipkannya di toko-toko. Hasilnya sama saja, kuenya tidak begitu laku. Dalam sehari hanya sekitar 50 biji yang terjual dari 100 biji yang tersedia. ”Dari situ saya mulai mencari cara agar kue kacang ini lebih diminati pembeli,” kata Marfin.
Dia menemukan dua kekurangan mencolok dalam pembuatan kue kacang hijau. Kue tersebut terlalu basah dan rasanya hambar karena menggunakan minyak goreng. Setelah beberapa kali berinovasi, dia menemukan pengganti minyak goreng yang pas, yakni mentega yang membuat kuenya lebih kering dan gurih.
Dampak inovasi itu sangat nyata. Omzet penjualan kue kacang hijau terus melambung. Pada tahun 2000, omzetnya mencapai 200 sampai 300 kotak per hari, dengan harga Rp 11.000 per kotak. Satu kotak berisi 20 biji kue kacang hijau. Semua dia lakukan sendiri, dibantu anggota keluarganya.
Marfin biasa bangun pukul 03.00 untuk membuat adonan kue. Dia baru tidur pada pukul 22.00 pada saat semua bahan untuk esok hari telah siap. Kebiasaan itu berlangsung sampai sekarang.
Namun, masih ada yang mengganggu Marfin karena kuenya hanya bisa bertahan satu sampai dua hari alias cepat basi. Untuk itu, dia menambahkan zat antibasi dalam adonannya. Ide untuk penambahan zat antibasi itu datang dari petugas Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan saat Marfin berkonsultasi tentang cara meningkatkan mutu kuenya. Hasilnya, kue bisa bertahan sampai sepekan. ”Zat antibasi ini bukan pengawet. Saya tidak berani memberi zat pengawet karena katanya bisa mengganggu kesehatan,” kata Marfin.
Usaha pembuatan kue kacang hijau terus berkembang. Marfin perlu tambahan tenaga kerja sehingga dia merekrut 25 ibu rumah tangga di sekitar rumahnya di Jalan Sultan Hasanuddin, Sabang, sebagai pekerja.
Selain itu, dia merasa perlu membeli alat-alat produksi baru untuk pengembangan usaha. Dari awalnya menggunakan oven manual, kemudian Marfin membeli tiga oven semimanual seharga Rp 400.000 per buah. Saat keuntungan kian melimpah, dia membeli oven putar sebanyak empat buah, Rp 11 juta sampai Rp 16 juta per buah.
Ketika tsunami menghantam Aceh dan sekitarnya pada 26 Desember 2004, usaha Marfin ikut menjadi korban ikutan. Meskipun semua alat produksi selamat dari hantaman tsunami dan semua anggota keluarga selamat, usahanya lesu.
Tak ada seorang pun pegawainya yang masuk kerja karena mereka sibuk menyelamatkan diri dan merawat keluarganya yang menjadi korban. Kalau pun Marfin memaksakan membuat kue, tidak akan ada yang membelinya. ”Saat itu, banyak orang berpikir sulit untuk bisa pulih, tetapi saya yakin masih bisa bertahan dan maju,” katanya.
Tiga bulan usaha Marfin mati dan itu membuatnya sempat berpikir usahanya berakhir. Seiring pulihnya korban tsunami, semangat Marfin pun pulih. Apalagi, para karyawannya kembali bekerja.
Seolah berangkat dari nol lagi, Marfin meyakinkan diri dan karyawannya bahwa usahanya akan maju jika mereka tetap bersemangat. Satu bulan. Dua bulan. Tiga bulan. Omzet Marfin pulih dan bahkan naik menjadi 500 kotak per hari.
Saat itu dia merasa perlu inovasi baru. Jika sebelumnya kotak kemasan kue kacang hanya berupa kardus polos, sekarang dia berpikir untuk membuat merek bergambar dan berlabel halal. Tujuannya agar para pelancong semakin mantap menjadikan Kue Kacang Hijau AG Sabang sebagai oleh-oleh.
Dia lantas menghubungi koleganya di Medan, Sumatera Utara, untuk membantu mencetak dan membuat desain kotak kemasan kue kacang hijau. Sejak saat itu, tepatnya awal 2005, kemasan Kue Kacang Hijau AG Sabang lebih menarik dan menawan seperti yang terlihat di berbagai warung dan toko pusat oleh-oleh.
Kerja keras Marfin tidak hanya diapresiasi oleh pelanggan. Badan POM memberinya penghargaan berupa piagam Bintang Keamanan Pangan karena telah menerapkan prinsip dasar keamanan pangan. Badan POM menilai, proses pembuatan Kue Kacang Hijau AG Sabang menjaga higienitas, keamanan penyimpanan, sanitasi yang bagus, serta peralatan yang aman dan bersih. (*/Kompas.com)
Senin, 21 Mei 2012
KISAH BEKAS KENEK, JADI PENGUSAHA SUKSES DI LONDON
Suara Pance Pondaag menyanyikan Demi Kau dan Si Buah Hati menemani Firdaus Ahmad menyetir Mercedes 120 CDI di jalanan London yang padat pada suatu siang akhir Februari lalu. Mobil jembar yang sanggup mengangkut sepuluh orang itu adalah kendaraan "dinas" laki-laki 54 tahun ini dari rumah ke restorannya.
Nusa Dua Restaurant berdiri di sudut Dean Street 11, Soho, di jantung ibu kota Inggris itu. Bangunan tiga lantai ini satu-satunya restoran Indonesia di kawasan belanja dan tempat nongkrong anak-anak muda itu. "Sejak Presiden Barack Obama datang ke Indonesia, menu favorit di sini nasi goreng," kata Daus.
Selain itu, ada banyak makanan khas Indonesia di daftar menu: ayam kremes, sayur asem, sambal terasi, tahu isi, soto ayam, tempe, dan kerupuk udang. Saya makan di sana ketika restoran masih tutup menjelang sore. Tapi, di depan pintu, pelanggan dari pelbagai ras yang akan makan malam sudah antre mengular.
Resto ini adalah buah kerja keras Daus selama 20 tahun. Ia tiba di London pada akhir 1981 dengan tiket pesawat yang dikirim saudaranya, sopir di Kedutaan Besar Indonesia di London. Daus nekat berangkat ke Inggris karena penghasilan sebagai kondektur angkutan kota Kampung Melayu-Bekasi tak menentu.
Mendarat di Bandar Udara Heathrow yang sibuk, lulusan SMA 1 Indramayu ini termangu dua jam. Ia tak tahu jalan keluar. Ia amati setiap penumpang. Asumsinya, orang yang kusut pasti baru mendarat setelah penerbangan yang jauh. Ia ikuti mereka menyeret koper. "Saat itu saya baru tahu arti 'exit' itu keluar," katanya, terbahak.
Daus lalu bekerja di restoran Indonesia sebagai pencuci piring. Tapi resto ini tak berumur lama. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah mengambil alih dan menjualnya. Pembelinya adalah tukang masak asal Malaysia. Resto itu kini jadi rumah makan Asia yang tukang masaknya adalah pemilik lama, bekas majikan Daus.
Seorang pengusaha Singapura kemudian mendirikan Nusa Dua Restaurant. Daus diajak bergabung dan naik pangkat jadi chef. Tapi perkongsian ini hanya bertahan tiga tahun. Pengusaha itu tak sanggup membayar cicilan modal. Royal Bank of Scotland (RBS) menyitanya. Daus kelimpungan tak punya pekerjaan.
Pada 1991 ia sudah menikahi Usya Suharjono, perempuan manis yang tengah kuliah kesekretariatan di London. Ayah Usya adalah wartawan radio BBC seksi Indonesia. Ia mengikuti orang tuanya ke London setelah lulus SMA 2 Jakarta Pusat pada 1983. Daus punya ide mengambil alih Nusa Dua.
Usya maju sebagai negosiator dengan bank karena ia fasih berbahasa Inggris. Daus hingga kini masih gagap. Kepada tiga anaknya, ia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi dijawab dalam bahasa Inggris. Usya membujuk bahwa resto itu merugikan RBS karena tak mendatangkan untung, sementara pajak tetap harus dibayar.
Daus meyakinkan mereka akan mengelola rumah makan dengan jaminan membayar cicilan 1.000 pound tiap bulan tepat waktu. ”Jika tahun pertama pembayaran tak jelas, bank silakan ambil alih lagi,” katanya. Deal. RBS ternyata setuju.
Sejak itu, Daus yang pegang kendali. Ia belanja, ia memasak, ia pula yang melayani pembeli. Karena makanan racikannya enak, pelanggan lama kembali, dan pembeli baru berdatangan. Restorannya mulai untung dengan omzet 10 ribu pon (Rp 140 juta) setiap pekan. Dalam waktu enam tahun, utang 100 ribu pound lunas.
Tabungannya mulai kembung. Daus membeli sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 5,2 miliar di sudut jalan dekat sekolah anaknya. rumah sembilan kamar itu kini disewakan kepada pelancong asal Indonesia dengan tarif 19,5 pound semalam. Meski tak ada papan nama, orang tahu rumah bata merah di sudut jalan kompleks elite Colindale itu ”Wisma Indonesia”.
Daus-Usya tinggal tak jauh dari situ. Tiga mobil nangkring di garasi. Semuanya Mercedes yang harga satu unitnya rata-rata Rp 1,4 miliar. Daus kerap bolak-balik London-Bekasi untuk menengok keluarga besarnya di Jatiasih.
Setelah semua pencapaian ini, Daus hanya punya satu cita-cita: pulang kampung setelah anak-anaknya mandiri dan membuat taman pendidikan agama untuk anak-anak miskin. (*/Tempo.co)
Nusa Dua Restaurant berdiri di sudut Dean Street 11, Soho, di jantung ibu kota Inggris itu. Bangunan tiga lantai ini satu-satunya restoran Indonesia di kawasan belanja dan tempat nongkrong anak-anak muda itu. "Sejak Presiden Barack Obama datang ke Indonesia, menu favorit di sini nasi goreng," kata Daus.
Selain itu, ada banyak makanan khas Indonesia di daftar menu: ayam kremes, sayur asem, sambal terasi, tahu isi, soto ayam, tempe, dan kerupuk udang. Saya makan di sana ketika restoran masih tutup menjelang sore. Tapi, di depan pintu, pelanggan dari pelbagai ras yang akan makan malam sudah antre mengular.
Resto ini adalah buah kerja keras Daus selama 20 tahun. Ia tiba di London pada akhir 1981 dengan tiket pesawat yang dikirim saudaranya, sopir di Kedutaan Besar Indonesia di London. Daus nekat berangkat ke Inggris karena penghasilan sebagai kondektur angkutan kota Kampung Melayu-Bekasi tak menentu.
Mendarat di Bandar Udara Heathrow yang sibuk, lulusan SMA 1 Indramayu ini termangu dua jam. Ia tak tahu jalan keluar. Ia amati setiap penumpang. Asumsinya, orang yang kusut pasti baru mendarat setelah penerbangan yang jauh. Ia ikuti mereka menyeret koper. "Saat itu saya baru tahu arti 'exit' itu keluar," katanya, terbahak.
Daus lalu bekerja di restoran Indonesia sebagai pencuci piring. Tapi resto ini tak berumur lama. Pemiliknya ketahuan mengakali pajak. Pemerintah mengambil alih dan menjualnya. Pembelinya adalah tukang masak asal Malaysia. Resto itu kini jadi rumah makan Asia yang tukang masaknya adalah pemilik lama, bekas majikan Daus.
Seorang pengusaha Singapura kemudian mendirikan Nusa Dua Restaurant. Daus diajak bergabung dan naik pangkat jadi chef. Tapi perkongsian ini hanya bertahan tiga tahun. Pengusaha itu tak sanggup membayar cicilan modal. Royal Bank of Scotland (RBS) menyitanya. Daus kelimpungan tak punya pekerjaan.
Pada 1991 ia sudah menikahi Usya Suharjono, perempuan manis yang tengah kuliah kesekretariatan di London. Ayah Usya adalah wartawan radio BBC seksi Indonesia. Ia mengikuti orang tuanya ke London setelah lulus SMA 2 Jakarta Pusat pada 1983. Daus punya ide mengambil alih Nusa Dua.
Usya maju sebagai negosiator dengan bank karena ia fasih berbahasa Inggris. Daus hingga kini masih gagap. Kepada tiga anaknya, ia berbicara dalam bahasa Indonesia, tapi dijawab dalam bahasa Inggris. Usya membujuk bahwa resto itu merugikan RBS karena tak mendatangkan untung, sementara pajak tetap harus dibayar.
Daus meyakinkan mereka akan mengelola rumah makan dengan jaminan membayar cicilan 1.000 pound tiap bulan tepat waktu. ”Jika tahun pertama pembayaran tak jelas, bank silakan ambil alih lagi,” katanya. Deal. RBS ternyata setuju.
Sejak itu, Daus yang pegang kendali. Ia belanja, ia memasak, ia pula yang melayani pembeli. Karena makanan racikannya enak, pelanggan lama kembali, dan pembeli baru berdatangan. Restorannya mulai untung dengan omzet 10 ribu pon (Rp 140 juta) setiap pekan. Dalam waktu enam tahun, utang 100 ribu pound lunas.
Tabungannya mulai kembung. Daus membeli sebuah rumah seluas 300 meter persegi seharga Rp 5,2 miliar di sudut jalan dekat sekolah anaknya. rumah sembilan kamar itu kini disewakan kepada pelancong asal Indonesia dengan tarif 19,5 pound semalam. Meski tak ada papan nama, orang tahu rumah bata merah di sudut jalan kompleks elite Colindale itu ”Wisma Indonesia”.
Daus-Usya tinggal tak jauh dari situ. Tiga mobil nangkring di garasi. Semuanya Mercedes yang harga satu unitnya rata-rata Rp 1,4 miliar. Daus kerap bolak-balik London-Bekasi untuk menengok keluarga besarnya di Jatiasih.
Setelah semua pencapaian ini, Daus hanya punya satu cita-cita: pulang kampung setelah anak-anaknya mandiri dan membuat taman pendidikan agama untuk anak-anak miskin. (*/Tempo.co)
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Info pameran roti,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
resep roti,
toko roti
Jumat, 18 Mei 2012
AVIAN SUWITO, SANG PEMILIK TULIP BAKERY
Karier mulus, jabatan tinggi, untuk sebagian orang bukanlah tujuan akhir. Bahkan, bagi mereka, kembali memulai dari bawah sama sekali bukan masalah demi mengembangkan usaha sendiri.
Avianto Suwito adalah salah satu dari orang-orang dengan visi dan keberanian berlebih tersebut. Pada 2000, Avian, demikian dia biasa dipanggil, memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai area manajer supermarket Hero wilayah DKI Jakarta–Jawa Barat, tempatnya mengabdikan diri bekerja selama lebih dari 15 tahun. "Waktu di Hero saya bekerja di bagian processing food development," ujar Avian.
Namun, terbukti bahwa keputusan, keberanian, dan perhitungannya tepat. Kini, Avianto Suwito menjelma menjadi seorang pengusaha sukses di bidang pengolahan makanan.
Berbekal pengetahuan di bidang pengolahan makanan yang diperolehnya selama bekerja, dia merintis usaha di bisnis makanan olahan. Mahir dan memiliki pengetahuan serta pengalaman cukup dalam bidang pembuatan roti dan makanan, Avian memilih untuk membuka usaha pembuatan roti.
Alasan dia memilih bidang usaha itu karena industri pengolahan roti terbilang sederhana dan tidak membutuhkan proses yang mengedepankan kontrol penuh selama 24 jam dalam sehari.
Dengan tekad bulat, tahun 2000 dia realisasikan mimpinya dengan mendirikan Tulip Bakery yang berlokasi di Pamulang, Tangerang Selatan. Dia mengakui, modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha di bidang pengolahan makanan ringan itu terbilang besar untuk ukuran industri kecil dan menengah. "Tahun 2001 saya buka usaha ini dengan modal cukup besar, sampai Rp500 juta,” paparnya.
Modal tersebut diperolehnya dari hasil menabung selama bekerja 15 tahun lamanya. Avian mengaku tidak meminjam modal dari bank untuk membuka usahanya.
Menurut Avian, tingginya modal adalah karena peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi pembuatan roti terbilang sangat mahal. Begitu pula dengan bahanbahan yang dibutuhkan untuk proses pengolahan, juga terbilang sangat mahal.
Sebab, bahan-bahan pembuat roti sebagian besar tidak bisa diperoleh di dalam negeri. Menurut Avian, dia maupun pengusaha roti lainnya memesan bahan pembuat roti langsung dari Malaysia, Singapura, dan negara-negara Eropa yang terkenal sebagai penghasil roti kualitas dunia semisal Prancis dan Italia.
"Selain untuk kebutuhan bahan-bahan tadi, modal yang besar juga dibutuhkan untuk sewa tempat, yakni sebesar Rp30 juta," ujarnya.
Dia memahami konsekuensi awal dari upayanya saat merintis usaha tersebut, yakni tidak akan mendatangkan keuntungan yang besar pada saat awal. Avian memaparkan, enam bulan pertama usahanya dijalankan, tidak ada hasil yang maksimal yang diperolehnya.
“Itu saya sadari sejak awal. Tantangan terberat pengusaha baru adalah tidak memperoleh keuntungan pada masa awal merintis usaha,” tuturnya.
Avian mengatakan, enam bulan pertama usahanya berjalan, omzet yang didapatnya hanya sebesar Rp30 juta-Rp40 juta per bulan. Hasil itu hanya cukup untuk membiayai produksi dan menggaji karyawannya.
Namun, tidak menyerah sampai di situ, Avian tetap bersemangat dalam merintis usahanya.Alhasil, secara perlahan tapi pasti, omzet usahanya mulai meningkat. “Pelan-pelan omzet mulai naik. Sekarang sudah di atas Rp100 juta per bulan,” kenangnya.
Menurut Avian, dalam merintis usaha pengolahan makanan, yang dibutuhkan adalah improvisasi dan inovasi tanpa henti. Hal itu, kata dia, harus disadari penuh dan dijalankan tanpa kecuali.
Sebab, tanpa improvisasi dan inovasi baru, usaha yang dirintis akan segera tertinggal pesaing-pesaing di bidang yang sama. “Dengan berinovasi dan kreatif, maka produk yang dihasilkan akan lain dan membuat kita berada di posisi depan dalam persiangan usaha yang sehat,” bebernya.
Beberapa inovasi yang sempat dijalankannya, kata dia, adalah hasil dari pembelajaran dan ilmu yang didapatnya selama bekerja. Sebagian lainnya, diperoleh saat menjalankan usaha dan bersinggungan langsung dengan konsumennya.
Dia mencontohkan, di tahap dasar ia belajar mengenai roti ala Eropa yang cenderung keras. Maka, roti jenis itu pula yang diproduksinya. Namun, dalam perkembangannya, dia mempelajari bahwa karakteristik konsumen Indonesia justru tidak memungkinkan dia untuk mempertahankan jenis roti Eropa.
Lantas, kiblatnya pun beralih ke jenis roti Taiwan yang lebih halus dan lebih digemari masyarakat Indonesia. Bahkan, kata dia, dari pengalamannya dia tahu bahwa untuk kawasan Asia Tenggara, jenis roti Taiwan yang sangat halus adalah yang paling tinggi permintaan pasarnya.
“Sesuai dengan karakteristik itu, inovasi dan ide-ide segar pun dihadirkan dengan mengadopsi jenis roti yang lebih halus. Kita juga harus pandai melihat permintaan masyarakat atau segmennya. Jadi, masyarakat Indonesia bisa menikmati yang di suka,” ungkapnya.
Mengenai kendala, selama 10 tahun merintis usahanya, Avian mengatakan bahwa rintangan terbesar yang dihadapinya untuk mengembangkan usaha adalah persoalan tenaga kerja.
Untuk proses pembuatan roti, papar dia, dibutuhkan tenaga kerja yang terampil dan memiliki keahlian khusus di bidang tata boga. Saat ini, Avian mempekerjakan sebanyak 11 orang karyawan yang diambil melalui paradigma pemberdayaan masyarakat sekitar.
“Kesulitannya, lulusan SMK tata boga jarang ada yang langsung tertarik bekerja ke sini, mereka lebih memilih melanjutkan kuliah. Jadi, kita harus memberdayakan dan mendidik tenaga kerja yang ada,” ujarnya.
Kendati kendala menghadang, Avian tidak surut untuk mengembangkan usahanya. Dia mengaku, jerih payah dan keringat yang dicurahkannya selama 10 tahun dalam merintis usahanya, akan terus dioptimalkan untuk menghadirkan pola pelayanan dan pemasaran yang lebih baik bagi konsumennya.
Menurut dia, kendaraan operasional diyakini mampu menjawab tantangan ke depan sekaligus mewujudkan harapan dan keinginannya. “Saya merencanakan, tahun depan akan membeli tiga sampai lima unit sepeda motor untuk operasional dan pemasaran. Saya yakin itu akan lebih efektif,” tuturnya.
Kini, setelah 10 tahun, Avian mengaku cukup berbangga dengan hasil yang telah dinikmatinya. Kualitas roti bercita rasa tinggi dengan mengedepankan inovasi dan kreasi, membuat usaha yang dirintisnya tetap diminati berbagai kalangan. (*/Harian Seputar Indonesia)
Avianto Suwito adalah salah satu dari orang-orang dengan visi dan keberanian berlebih tersebut. Pada 2000, Avian, demikian dia biasa dipanggil, memutuskan untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai area manajer supermarket Hero wilayah DKI Jakarta–Jawa Barat, tempatnya mengabdikan diri bekerja selama lebih dari 15 tahun. "Waktu di Hero saya bekerja di bagian processing food development," ujar Avian.
Namun, terbukti bahwa keputusan, keberanian, dan perhitungannya tepat. Kini, Avianto Suwito menjelma menjadi seorang pengusaha sukses di bidang pengolahan makanan.
Berbekal pengetahuan di bidang pengolahan makanan yang diperolehnya selama bekerja, dia merintis usaha di bisnis makanan olahan. Mahir dan memiliki pengetahuan serta pengalaman cukup dalam bidang pembuatan roti dan makanan, Avian memilih untuk membuka usaha pembuatan roti.
Alasan dia memilih bidang usaha itu karena industri pengolahan roti terbilang sederhana dan tidak membutuhkan proses yang mengedepankan kontrol penuh selama 24 jam dalam sehari.
Dengan tekad bulat, tahun 2000 dia realisasikan mimpinya dengan mendirikan Tulip Bakery yang berlokasi di Pamulang, Tangerang Selatan. Dia mengakui, modal yang dibutuhkan untuk memulai usaha di bidang pengolahan makanan ringan itu terbilang besar untuk ukuran industri kecil dan menengah. "Tahun 2001 saya buka usaha ini dengan modal cukup besar, sampai Rp500 juta,” paparnya.
Modal tersebut diperolehnya dari hasil menabung selama bekerja 15 tahun lamanya. Avian mengaku tidak meminjam modal dari bank untuk membuka usahanya.
Menurut Avian, tingginya modal adalah karena peralatan yang dibutuhkan untuk proses produksi pembuatan roti terbilang sangat mahal. Begitu pula dengan bahanbahan yang dibutuhkan untuk proses pengolahan, juga terbilang sangat mahal.
Sebab, bahan-bahan pembuat roti sebagian besar tidak bisa diperoleh di dalam negeri. Menurut Avian, dia maupun pengusaha roti lainnya memesan bahan pembuat roti langsung dari Malaysia, Singapura, dan negara-negara Eropa yang terkenal sebagai penghasil roti kualitas dunia semisal Prancis dan Italia.
"Selain untuk kebutuhan bahan-bahan tadi, modal yang besar juga dibutuhkan untuk sewa tempat, yakni sebesar Rp30 juta," ujarnya.
Dia memahami konsekuensi awal dari upayanya saat merintis usaha tersebut, yakni tidak akan mendatangkan keuntungan yang besar pada saat awal. Avian memaparkan, enam bulan pertama usahanya dijalankan, tidak ada hasil yang maksimal yang diperolehnya.
“Itu saya sadari sejak awal. Tantangan terberat pengusaha baru adalah tidak memperoleh keuntungan pada masa awal merintis usaha,” tuturnya.
Avian mengatakan, enam bulan pertama usahanya berjalan, omzet yang didapatnya hanya sebesar Rp30 juta-Rp40 juta per bulan. Hasil itu hanya cukup untuk membiayai produksi dan menggaji karyawannya.
Namun, tidak menyerah sampai di situ, Avian tetap bersemangat dalam merintis usahanya.Alhasil, secara perlahan tapi pasti, omzet usahanya mulai meningkat. “Pelan-pelan omzet mulai naik. Sekarang sudah di atas Rp100 juta per bulan,” kenangnya.
Menurut Avian, dalam merintis usaha pengolahan makanan, yang dibutuhkan adalah improvisasi dan inovasi tanpa henti. Hal itu, kata dia, harus disadari penuh dan dijalankan tanpa kecuali.
Sebab, tanpa improvisasi dan inovasi baru, usaha yang dirintis akan segera tertinggal pesaing-pesaing di bidang yang sama. “Dengan berinovasi dan kreatif, maka produk yang dihasilkan akan lain dan membuat kita berada di posisi depan dalam persiangan usaha yang sehat,” bebernya.
Beberapa inovasi yang sempat dijalankannya, kata dia, adalah hasil dari pembelajaran dan ilmu yang didapatnya selama bekerja. Sebagian lainnya, diperoleh saat menjalankan usaha dan bersinggungan langsung dengan konsumennya.
Dia mencontohkan, di tahap dasar ia belajar mengenai roti ala Eropa yang cenderung keras. Maka, roti jenis itu pula yang diproduksinya. Namun, dalam perkembangannya, dia mempelajari bahwa karakteristik konsumen Indonesia justru tidak memungkinkan dia untuk mempertahankan jenis roti Eropa.
Lantas, kiblatnya pun beralih ke jenis roti Taiwan yang lebih halus dan lebih digemari masyarakat Indonesia. Bahkan, kata dia, dari pengalamannya dia tahu bahwa untuk kawasan Asia Tenggara, jenis roti Taiwan yang sangat halus adalah yang paling tinggi permintaan pasarnya.
“Sesuai dengan karakteristik itu, inovasi dan ide-ide segar pun dihadirkan dengan mengadopsi jenis roti yang lebih halus. Kita juga harus pandai melihat permintaan masyarakat atau segmennya. Jadi, masyarakat Indonesia bisa menikmati yang di suka,” ungkapnya.
Mengenai kendala, selama 10 tahun merintis usahanya, Avian mengatakan bahwa rintangan terbesar yang dihadapinya untuk mengembangkan usaha adalah persoalan tenaga kerja.
Untuk proses pembuatan roti, papar dia, dibutuhkan tenaga kerja yang terampil dan memiliki keahlian khusus di bidang tata boga. Saat ini, Avian mempekerjakan sebanyak 11 orang karyawan yang diambil melalui paradigma pemberdayaan masyarakat sekitar.
“Kesulitannya, lulusan SMK tata boga jarang ada yang langsung tertarik bekerja ke sini, mereka lebih memilih melanjutkan kuliah. Jadi, kita harus memberdayakan dan mendidik tenaga kerja yang ada,” ujarnya.
Kendati kendala menghadang, Avian tidak surut untuk mengembangkan usahanya. Dia mengaku, jerih payah dan keringat yang dicurahkannya selama 10 tahun dalam merintis usahanya, akan terus dioptimalkan untuk menghadirkan pola pelayanan dan pemasaran yang lebih baik bagi konsumennya.
Menurut dia, kendaraan operasional diyakini mampu menjawab tantangan ke depan sekaligus mewujudkan harapan dan keinginannya. “Saya merencanakan, tahun depan akan membeli tiga sampai lima unit sepeda motor untuk operasional dan pemasaran. Saya yakin itu akan lebih efektif,” tuturnya.
Kini, setelah 10 tahun, Avian mengaku cukup berbangga dengan hasil yang telah dinikmatinya. Kualitas roti bercita rasa tinggi dengan mengedepankan inovasi dan kreasi, membuat usaha yang dirintisnya tetap diminati berbagai kalangan. (*/Harian Seputar Indonesia)
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Info pameran roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti
Selasa, 15 Mei 2012
SIGIT SUSILO, JURAGAN BROWNIES TEPUNG SINGKONG
Sigit Susilo adalah salah satu dari segelintir anak muda yang sukses. Bagaimana tidak, Sigit mampu meraup penghasilan hingga puluhan juta rupiah dari usaha yang dijalaninya. Ide dan kreativitas merupakan modal utama Sigit dalam menjalankan bisnisnya.
Buktinya, dia mampu menghasilkan produk, yakni kue brownies yang terbuat dari tepung singkong, mengingat kebanyakan brownies yang dijual di pasaran saat ini menggunakan tepung terigu.
Kemudian, brownies ciptaannya itu dia jual dengan merek mr BrownCo. Konsep mr BrownCo adalah memadukan antara produk pangan lokal dengan modern. Sigit mendirikan mr BrownCo pada 6 Februari 2008 di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga.
Sejak berdiri, sambutan konsumen sangat tinggi. Ini terlihat dari semakin meningkatnya angka penjualan dari bulan ke bulan. Kemudian diversifikasi dan inovasi produk terus dikembangkan dengan selalu mengikuti selera konsumen dan mengedepankan pelayanan terbaik.
Ketertarikan Sigit memulai bisnis bermula pada tahun 2004 sewaktu masih menjadi mahasiswa tahun pertama di IPB. Saat tinggal di asrama, kata Sigit, dia tertarik berjualan setelah melihat banyak teman-temannya yang jualan.
"Saya menjual produk orang lain, yakni nata de coco. Namun, sebenarnya peraturan asrama sendiri enggak membolehkan mahasiswa berjualan karena mengganggu ketertiban asrama. Selepas dari asrama tahun 2005, saya enggak jualan nata de coco lagi," papar Sigit.
Pada waktu itu, Sigit dan seorang temannya, Indra, memutuskan untuk membuat brownies biasa yang berbahan dasar tepung terigu. Bisnis kecil-kecilan itu mampu berjalan hingga tahun 2008 dan pemasarannya sebatas di lingkungan komunitas IPB.
"Awalnya kami membuat sebanyak dua kotak per hari, dan mendapatkan pendapatan sebesar Rp60 ribu per hari. Lama-lama, pendapatan kami bertambah menjadi sebesar Rp200 ribuper hari. Tapi tidak hanya menjual di kelas, kami juga menjual ke perumahan sekitar kampus. Walaupun produksi terbatas, mengingat waktu itu kami masih kuliah," papar Sigit.
Lalu pada tingkat akhir kuliah, bisnis yang dijalani Sigit dan Indra semakin berkembang, dan anggota tim pun bertambah dua orang, yakni Bahtiar dan Irna Melviyana. Ekspansi usaha pun coba dilakukan mereka, apalagi ketika itu mereka mendapatkan dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp4 juta.
"Saya mengajukan proposal bisnis brownies ke PKM. Jadi sambil berbisnis, kami juga sekaligus menjalankan program PKM selama setahun. PKM semacam kompetisi seluruh kampus di Indonesia. Waktu itu proposal program kami adalah brownies ubi jalar dan talas. Sementara modal yang kami miliki sendiri sebesar Rp2 juta, jadi modal awal total Rp6 juta. Itu bisa dibilang kami ikut lomba bikin business plan," kata Sigit.
Modal Rp6 juta tersebut kemudian digunakan Sigit untuk membeli etalase toko di Bogor seharga Rp600 ribu, oven, mixer, sewa tempat sebesar Rp1,5 juta per tahun, pembuatan leaflet sebanyak 500 lembar, bahan baku brownies, dan sebagainya.
"Dalam setahun, modal itu berputar, dan pendapatan per bulan Rp9 juta. Waktu itu masih membuat brownies berbahan baku ubi jalar dan talas. Kita juga sering ikut pameran dan bazar. Selepas dari program PKM, kami mulai mengembangkan bisnis sendiri," kata Sigit.
Kreativitas Sigit terus berlanjut dengan melakukan inovasi mencoba berbagai bahan baku umbi-umbi lainnya, mulai dari tepung ganyong hingga tepung singkong untuk membuat brownies. Sampai pada akhirnya, dia menemukan bahan baku yang cocok untuk membuat brownies, yakni tepung singkong.
"Karena kami memang selalu mengutamakan untuk mengembangkan bahan baku pangan Indonesia. Yang namanya industri kan bukan hanya sekadar unik, tapi kontinuitas dari bahan baku itu tetap harus ada. Kalau memakai singkong murni dikukus kan buat industri tidak efektif," ujarnya.
Selain tertarik untuk menggunakan bahan baku pangan Indonesia, Sigit mengaku, juga ingin menekan penggunaan produk tepung terigu yang merupakan produk impor. Sementara itu, tahap percobaan menggunakan tepung singkong dan tes pasar hanya berlangsung selama sebulan.
Seiring dengan waktu, pada pertengahan 2009, Sigit berhasil meraup omzet sebesar Rp25 juta per bulan. Namun sayangnya, di tengah semakin berkembangnya usaha, semua anggota tim Sigit memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. "Setelah lulus, saya baru kembangkan usaha sendiri," ucapnya.
Kendati hanya seorang diri, Sigit tidak langsung putus asa dan tetap semangat untuk menjalankan usahanya. "Saya berharap brownies mr BrownCo ini nantinya bisa menjadi ikon oleh-oleh khas Bogor," tutur Sigit.
Strategi marketing yang dilakukan adalah dengan melakukan bazar dan pemeran, baik di sekitar kampus IPB maupun di wilayah Bogor dan Jakarta. Selain itu, promosi via online juga sudah dilakukan untuk mempromosikan produk mr BrownCo ke seluruh wilayah Indonesia, yakni melalui www.mrbrownco.com, www.oleholehbogor.com, maupun melalui situs jejaring sosial.
Saat ini, Sigit sudah memiliki satu outlet yang berlokasi di kampus IPB yang merupakan tempat utama untuk memasarkan produknya. Dia juga memasok hasil produksi di Botani Square dan beberapa agen di sekitar Bogor.
Rencana pengembangan bisnis mr BrownCo adalah dengan memperluas pasar di pusat kota Bogor dan merambah area Jabodetabek. Ada dua rencana pengembangan bisnis. Pertama, konsep booth, display, atau stan di tempat-tempat strategis, seperti mal, pusat jajanan khas Bogor, tempat rekreasi, atau jalan-jalan utama di Bogor.
Kedua, membuka outlet atau gerai yang memadukan antara brownies, kopi, dan makanan khas Bogor, di mana konsumen juga disediakan tempat untuk menikmati secara langsung produk-produk yang ditawarkan sambil menikmati hidangan kopi dan menu aneka brownies siap saji.
Tahap pertama yang segera direalisasikan, yaitu meresmikan pembukaan mini cafe di kampus IPB Darmaga. Mini cafe pertama yang akan dibuka pada November 2010 adalah perpaduan antara brownies dan kopi. Untuk membuka mini cafe, Sigit bekerja sama dengan seorang temannya, Asyhar. Dana yang dibutuhkan untuk membuka mini cafe itu sebesar Rp100 juta.
“Kami sekarang mengarah kepada sistem cafe. Konsepnya sekarang orang bisa makan dan minum sambil nongkrong. Karena menurut saya cocok, menghubungkan brownies dengan kopi. Untuk keuntungannya, sistemnya nanti bagi hasil,” ungkapnya.
Sigit mengaku, mampu menjual sebanyak 25-40 kotak brownies singkong setiap harinya. Biasanya, Sigit memproduksi 48 kotak brownies singkong panggang, 16 brownies singkong kukus, dan 100 cup brownies per hari dengan kisaran harga mulai dari Rp2.000 hingga Rp55 ribu.
"Tapi tergantung event, kalau puasa dan Lebaran biasanya akan lebih dari itu. Pada waktu liburan panjang juga meningkat, karena para mahasiswa IPB yang ingin pulang ke rumahnya, biasanya membeli untuk oleh-oleh. Jadi, ya sudah menjadi semacam gaya hidup mereka. Bahkan dulu, produk saya pernah sempat diberi tagline ‘gawenya anak IPB’," ucapnya. (*/Harian Seputar Indonesia)
Buktinya, dia mampu menghasilkan produk, yakni kue brownies yang terbuat dari tepung singkong, mengingat kebanyakan brownies yang dijual di pasaran saat ini menggunakan tepung terigu.
Kemudian, brownies ciptaannya itu dia jual dengan merek mr BrownCo. Konsep mr BrownCo adalah memadukan antara produk pangan lokal dengan modern. Sigit mendirikan mr BrownCo pada 6 Februari 2008 di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor (IPB) Darmaga.
Sejak berdiri, sambutan konsumen sangat tinggi. Ini terlihat dari semakin meningkatnya angka penjualan dari bulan ke bulan. Kemudian diversifikasi dan inovasi produk terus dikembangkan dengan selalu mengikuti selera konsumen dan mengedepankan pelayanan terbaik.
Ketertarikan Sigit memulai bisnis bermula pada tahun 2004 sewaktu masih menjadi mahasiswa tahun pertama di IPB. Saat tinggal di asrama, kata Sigit, dia tertarik berjualan setelah melihat banyak teman-temannya yang jualan.
"Saya menjual produk orang lain, yakni nata de coco. Namun, sebenarnya peraturan asrama sendiri enggak membolehkan mahasiswa berjualan karena mengganggu ketertiban asrama. Selepas dari asrama tahun 2005, saya enggak jualan nata de coco lagi," papar Sigit.
Pada waktu itu, Sigit dan seorang temannya, Indra, memutuskan untuk membuat brownies biasa yang berbahan dasar tepung terigu. Bisnis kecil-kecilan itu mampu berjalan hingga tahun 2008 dan pemasarannya sebatas di lingkungan komunitas IPB.
"Awalnya kami membuat sebanyak dua kotak per hari, dan mendapatkan pendapatan sebesar Rp60 ribu per hari. Lama-lama, pendapatan kami bertambah menjadi sebesar Rp200 ribuper hari. Tapi tidak hanya menjual di kelas, kami juga menjual ke perumahan sekitar kampus. Walaupun produksi terbatas, mengingat waktu itu kami masih kuliah," papar Sigit.
Lalu pada tingkat akhir kuliah, bisnis yang dijalani Sigit dan Indra semakin berkembang, dan anggota tim pun bertambah dua orang, yakni Bahtiar dan Irna Melviyana. Ekspansi usaha pun coba dilakukan mereka, apalagi ketika itu mereka mendapatkan dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional sebesar Rp4 juta.
"Saya mengajukan proposal bisnis brownies ke PKM. Jadi sambil berbisnis, kami juga sekaligus menjalankan program PKM selama setahun. PKM semacam kompetisi seluruh kampus di Indonesia. Waktu itu proposal program kami adalah brownies ubi jalar dan talas. Sementara modal yang kami miliki sendiri sebesar Rp2 juta, jadi modal awal total Rp6 juta. Itu bisa dibilang kami ikut lomba bikin business plan," kata Sigit.
Modal Rp6 juta tersebut kemudian digunakan Sigit untuk membeli etalase toko di Bogor seharga Rp600 ribu, oven, mixer, sewa tempat sebesar Rp1,5 juta per tahun, pembuatan leaflet sebanyak 500 lembar, bahan baku brownies, dan sebagainya.
"Dalam setahun, modal itu berputar, dan pendapatan per bulan Rp9 juta. Waktu itu masih membuat brownies berbahan baku ubi jalar dan talas. Kita juga sering ikut pameran dan bazar. Selepas dari program PKM, kami mulai mengembangkan bisnis sendiri," kata Sigit.
Kreativitas Sigit terus berlanjut dengan melakukan inovasi mencoba berbagai bahan baku umbi-umbi lainnya, mulai dari tepung ganyong hingga tepung singkong untuk membuat brownies. Sampai pada akhirnya, dia menemukan bahan baku yang cocok untuk membuat brownies, yakni tepung singkong.
"Karena kami memang selalu mengutamakan untuk mengembangkan bahan baku pangan Indonesia. Yang namanya industri kan bukan hanya sekadar unik, tapi kontinuitas dari bahan baku itu tetap harus ada. Kalau memakai singkong murni dikukus kan buat industri tidak efektif," ujarnya.
Selain tertarik untuk menggunakan bahan baku pangan Indonesia, Sigit mengaku, juga ingin menekan penggunaan produk tepung terigu yang merupakan produk impor. Sementara itu, tahap percobaan menggunakan tepung singkong dan tes pasar hanya berlangsung selama sebulan.
Seiring dengan waktu, pada pertengahan 2009, Sigit berhasil meraup omzet sebesar Rp25 juta per bulan. Namun sayangnya, di tengah semakin berkembangnya usaha, semua anggota tim Sigit memutuskan untuk mencari pekerjaan lain. "Setelah lulus, saya baru kembangkan usaha sendiri," ucapnya.
Kendati hanya seorang diri, Sigit tidak langsung putus asa dan tetap semangat untuk menjalankan usahanya. "Saya berharap brownies mr BrownCo ini nantinya bisa menjadi ikon oleh-oleh khas Bogor," tutur Sigit.
Strategi marketing yang dilakukan adalah dengan melakukan bazar dan pemeran, baik di sekitar kampus IPB maupun di wilayah Bogor dan Jakarta. Selain itu, promosi via online juga sudah dilakukan untuk mempromosikan produk mr BrownCo ke seluruh wilayah Indonesia, yakni melalui www.mrbrownco.com, www.oleholehbogor.com, maupun melalui situs jejaring sosial.
Saat ini, Sigit sudah memiliki satu outlet yang berlokasi di kampus IPB yang merupakan tempat utama untuk memasarkan produknya. Dia juga memasok hasil produksi di Botani Square dan beberapa agen di sekitar Bogor.
Rencana pengembangan bisnis mr BrownCo adalah dengan memperluas pasar di pusat kota Bogor dan merambah area Jabodetabek. Ada dua rencana pengembangan bisnis. Pertama, konsep booth, display, atau stan di tempat-tempat strategis, seperti mal, pusat jajanan khas Bogor, tempat rekreasi, atau jalan-jalan utama di Bogor.
Kedua, membuka outlet atau gerai yang memadukan antara brownies, kopi, dan makanan khas Bogor, di mana konsumen juga disediakan tempat untuk menikmati secara langsung produk-produk yang ditawarkan sambil menikmati hidangan kopi dan menu aneka brownies siap saji.
Tahap pertama yang segera direalisasikan, yaitu meresmikan pembukaan mini cafe di kampus IPB Darmaga. Mini cafe pertama yang akan dibuka pada November 2010 adalah perpaduan antara brownies dan kopi. Untuk membuka mini cafe, Sigit bekerja sama dengan seorang temannya, Asyhar. Dana yang dibutuhkan untuk membuka mini cafe itu sebesar Rp100 juta.
“Kami sekarang mengarah kepada sistem cafe. Konsepnya sekarang orang bisa makan dan minum sambil nongkrong. Karena menurut saya cocok, menghubungkan brownies dengan kopi. Untuk keuntungannya, sistemnya nanti bagi hasil,” ungkapnya.
Sigit mengaku, mampu menjual sebanyak 25-40 kotak brownies singkong setiap harinya. Biasanya, Sigit memproduksi 48 kotak brownies singkong panggang, 16 brownies singkong kukus, dan 100 cup brownies per hari dengan kisaran harga mulai dari Rp2.000 hingga Rp55 ribu.
"Tapi tergantung event, kalau puasa dan Lebaran biasanya akan lebih dari itu. Pada waktu liburan panjang juga meningkat, karena para mahasiswa IPB yang ingin pulang ke rumahnya, biasanya membeli untuk oleh-oleh. Jadi, ya sudah menjadi semacam gaya hidup mereka. Bahkan dulu, produk saya pernah sempat diberi tagline ‘gawenya anak IPB’," ucapnya. (*/Harian Seputar Indonesia)
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Info baking demo,
Kiat Bisnis Roti,
Kiat sukses,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti
Sabtu, 12 Mei 2012
DARI SOPIR TAKSI KE USAHA ROTI
Buchori Al Zahrowi
Buchori, begitu pria bernama lengkap Buchori Al Zahrowi ini biasa dipanggil, Buchori menjadi sosok pengusaha muda sukses yang rendah hati. Lelaki kelahiran Bantul, 26 Maret 1969 ini dalam hidupnya pernah jadi sopir taksi selama tiga tahun dan sekarang menggeluti usaha Roti dan Kue AFLAH yang berarti lebih. Usaha yang digelutinya sekarang sudah berkembang dan membiakkan beberapa outlet di berbagai kota, antara lain Yogyakarta, Kutoarjo, Purworejo, Grabag dan Purwodari. Usaha yang dikelolanya sekarang ini membuatnya semakin mantap dalam menjalankan bisnisnya, walau krisis menghadang. Karena dengan krisis ini, menurut Buchori difahami menjadi sebuah peluang, karena banyak lahan yang ditinggalkan oleh para pengusaha/pelaku usaha yang tidak tahan terhadap goncangan badai.
Pengusaha muda sukses ini sejak SMA sudah mandiri, tidak bergantung pada orang lain, dengan keterbatasan hidupnya ini, maka Bapak dari 2 anak putri yaitu Bazfa Azzah Zhorifah dan Bazfa Alya Zhofirah ini tidak memilih jalur lambat mencari uang yaitu menjadi karyawan, tetapi memilih jalur cepat menghasilkan uang dengan cara menjadi pengusaha. Cita-citanya ini terbukti, bahkan bukan sekedar materi yang didapat dan berjalan maju cepat tetapi keseimbangan spiritual yang dapat dicapai.
Kini Gilirannya Untuk Bertukar Pengalaman
Mantan aktifis kampus diera awal 90-an di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (sekarang UIN Yogyakarta) ini, sekarang sibuk dengan kepeduliannya dengan cara memberikan motivasi bisnis untuk kalangan mahasiswa. Trik dan kiat bisnis yang diberikannya sederhana dan langsung bisa diaplikasikan serta tidak terlalu banyak modal. Sudah banyak mahasiswa yang berhasil punya keberanian membuka usaha sendiri setelah mendapat pencerahan dan motivasi darinya. Harapannya semakin banyak anak muda dan mahasiswa yang setelah lulus kuliah dan sudah siap mandiri dapat menciptakan lapangan kerja sendiri.
Berbekal jaringan dan silaturrohmi yang dibangun sejak menjadi aktifis kampus dan seringnya memberikan berbagai pelatihan diberbagai pelosok desa, Buchori yang merupakan suami dari Tin Khotimah ini lebih mantap melangkah dan menjadikannya modal dasar untuk memulai usaha membuat roti dan kue dengan merk “AFLAH” yang sudah dipatenkan dengan Hak Merek Reg. No. 000.091.841 serta sertifikat Halal MUI DIY. 121.000.001.001.08. Pola marketing yang begitu tepat dan cepat yang menjadikan para konsumen bukan hanya membeli produknya, tetapi lebih banyak pada ikatan emosional bathin, inilah yang jarang dimiliki oleh para pengusaha. Keloyalan dan kesetiaan para konsumen menjadikan bisnisnya berkembang pesat.
Buchori Al Zahrowi menambahkan, bila ada para calon pengusaha atau pengusaha yang berminat dengan bisnis ini dapat menghubungi di No HP : 081-7401074 atau melalui internet diwww.aflahcake.com atau facebook : Kuliner Jogja, atau email : infoaflahcake.com. (Agus)
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Info baking demo,
Info pameran roti,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
resep roti,
toko roti,
usaha roti
Jumat, 20 April 2012
BUNARENDANG, CARA PRAKTIS MENIKMATI RENDANG
Ragam kuliner ITS kembali bertambah. Setelah Sego Njamoer, Burger Krawu, Sate Bathik melejit lebih dulu, kini Bunarendang (burger nasi rendang) siap menyusul. Sesuai dengan namanya, kuliner ini menawarkan cara praktis menikmati rendang.
Adalah Rian Kurniawan, mahasiswa Teknik Mesin ITS yang mempunyai gagasan ini. Ia menceritakan bahwa ide ini dimulai dari niat biasa. Yakni, merubah hidangan peringkat pertama dalam daftar World 50 Most Delicious Foods menjadi lebih komersil dengan konsep yang lebih praktis selayaknya makan burger.
Awalnya, ide ini hanya berupa gagasan. Meski begitu, gagasan ini langsung mendapat apresiasi yang cukup besar. Ide ini berhasil menjadi finalis Sosro Joy Green Tea Youth Business Competition 2011.
Dalam kompetisi tersebut, Rian mengajak serta Ludianto Dwi Saputro dan Richard Wachju Wijaya. Dalam perkembangannya sebagai finalis, tim ini juga menggandeng Abdul Rochman Supriyanto, Marketing Oketoys, Devid Indra Winata mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) dan Luthfia Inggriani, mahasiswa Ekonomi Islam Universitas Airlangga (Unair).
Meski masih berumur jagung, usaha ini tidak main-main untuk dijalankan. Betapa tidak, Bunarendang telah me-launching produknya sebanyak dua kali. Launching pertama telah digelar November lalu. "Launching ini untuk memperkenalkan produk kami ke masyarakat," ujarnya.
Sementara itu, launching kedua digelar awal Maret. Launching ini pun dapat dikatakan sebagai grand launching. Pasalnya, digelar di dua tempat. Masing-masing adalah Java Jazz Festival (JJF) 2012 Jakarta Convention Center (JCC) dan di Pasar Minggu ITS (Pamits).
Sebagai kuliner baru, tantangan Bunarendang untuk dapat bersaing memang besar. Namun, tim ini tak pernah gentar menghadapi persaingan tersebut. "Bunarendang adalah yang pertama menginovasi rendang," terang Richard, salah satu anggota.
Berkaca dari acara grand launching, Bunarendang mendapat tanggapan yang positif. Tak hanya konsumen dalam negeri yang tertarik dengan produk ini. Sejumlah konsumen dari negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Perancis pun turut tertarik dengan kuliner baru ini.
Di pasar dalam kota, Bunarendang terus melebarkan sayapnya. Mulai dari kampus hingga beberapa kantor pemerintahan dan perusahaan. Sementara di ITS sendiri, mahasiswa D3 Teknik Mesin ini menyebutkan hampir 80 persen mahasiswa telah mengenal Bunarendang. "Sisanya akan segera menyusul," candanya.
Sebagai makanan cepat saji, sasaran pasar Bunarendang adalah konsumen dengan tingkat kesibukan tinggi. Utamanya mahasiswa dan pekerja. "Bunarendang memang dibuat sebagai makanan praktis sehingga cocok untuk orang-orang yang tidak mempunyai banyak waktu untuk makan," ujarnya.
Seperti kebanyakan bisnis lain, modal juga menjadi hambatan bagi Bunarendang. Apalagi untuk biaya marketing. Namun, Richard menerangkan bahwa biaya ini mulai dapat ditekan. Caranya adalah dengan promosi lewat mulut ke mulut. Jika produk berkualitas, maka pasti akan menarik konsumen. "Bunarendang tidak hanya menawarkan harga, tetapi juga rasa," ujarnya.
Richard kembali menjelaskan bahwa tidak ada paksaan untuk menjalankan bisnis ini. Semua adalah pilihan individu. Namun, bukan berarti harus mengorbankan kuliah. "Kuliah tetap nomer satu," lanjutnya.
Menjalankan bisnis secara tim memang tidak mudah. Untuk itu, upaya untuk memperkuat tim merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Begitu juga dengan tim ini. Sambil menjalankan bisnisnya, manajemen tim diperkuat. Standar operasional tim juga ditingkatkan.
Adalah Rian Kurniawan, mahasiswa Teknik Mesin ITS yang mempunyai gagasan ini. Ia menceritakan bahwa ide ini dimulai dari niat biasa. Yakni, merubah hidangan peringkat pertama dalam daftar World 50 Most Delicious Foods menjadi lebih komersil dengan konsep yang lebih praktis selayaknya makan burger.
Awalnya, ide ini hanya berupa gagasan. Meski begitu, gagasan ini langsung mendapat apresiasi yang cukup besar. Ide ini berhasil menjadi finalis Sosro Joy Green Tea Youth Business Competition 2011.
Dalam kompetisi tersebut, Rian mengajak serta Ludianto Dwi Saputro dan Richard Wachju Wijaya. Dalam perkembangannya sebagai finalis, tim ini juga menggandeng Abdul Rochman Supriyanto, Marketing Oketoys, Devid Indra Winata mahasiswa Politeknik Elektronika Negeri Surabaya (PENS) dan Luthfia Inggriani, mahasiswa Ekonomi Islam Universitas Airlangga (Unair).
Meski masih berumur jagung, usaha ini tidak main-main untuk dijalankan. Betapa tidak, Bunarendang telah me-launching produknya sebanyak dua kali. Launching pertama telah digelar November lalu. "Launching ini untuk memperkenalkan produk kami ke masyarakat," ujarnya.
Sementara itu, launching kedua digelar awal Maret. Launching ini pun dapat dikatakan sebagai grand launching. Pasalnya, digelar di dua tempat. Masing-masing adalah Java Jazz Festival (JJF) 2012 Jakarta Convention Center (JCC) dan di Pasar Minggu ITS (Pamits).
Sebagai kuliner baru, tantangan Bunarendang untuk dapat bersaing memang besar. Namun, tim ini tak pernah gentar menghadapi persaingan tersebut. "Bunarendang adalah yang pertama menginovasi rendang," terang Richard, salah satu anggota.
Berkaca dari acara grand launching, Bunarendang mendapat tanggapan yang positif. Tak hanya konsumen dalam negeri yang tertarik dengan produk ini. Sejumlah konsumen dari negeri tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Perancis pun turut tertarik dengan kuliner baru ini.
Di pasar dalam kota, Bunarendang terus melebarkan sayapnya. Mulai dari kampus hingga beberapa kantor pemerintahan dan perusahaan. Sementara di ITS sendiri, mahasiswa D3 Teknik Mesin ini menyebutkan hampir 80 persen mahasiswa telah mengenal Bunarendang. "Sisanya akan segera menyusul," candanya.
Sebagai makanan cepat saji, sasaran pasar Bunarendang adalah konsumen dengan tingkat kesibukan tinggi. Utamanya mahasiswa dan pekerja. "Bunarendang memang dibuat sebagai makanan praktis sehingga cocok untuk orang-orang yang tidak mempunyai banyak waktu untuk makan," ujarnya.
Seperti kebanyakan bisnis lain, modal juga menjadi hambatan bagi Bunarendang. Apalagi untuk biaya marketing. Namun, Richard menerangkan bahwa biaya ini mulai dapat ditekan. Caranya adalah dengan promosi lewat mulut ke mulut. Jika produk berkualitas, maka pasti akan menarik konsumen. "Bunarendang tidak hanya menawarkan harga, tetapi juga rasa," ujarnya.
Richard kembali menjelaskan bahwa tidak ada paksaan untuk menjalankan bisnis ini. Semua adalah pilihan individu. Namun, bukan berarti harus mengorbankan kuliah. "Kuliah tetap nomer satu," lanjutnya.
Menjalankan bisnis secara tim memang tidak mudah. Untuk itu, upaya untuk memperkuat tim merupakan hal mutlak yang harus dilakukan. Begitu juga dengan tim ini. Sambil menjalankan bisnisnya, manajemen tim diperkuat. Standar operasional tim juga ditingkatkan.
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti,
usaha sampingan
Selasa, 17 April 2012
PEMILIK BURGER HITAM INI MEMULAI BISNIS DARI KECELAKAAN
Memilih untuk berbisnis atau berwirausaha memang memiliki alasan beragam, dari alasan ingin memperoleh penghasilan lebih hingga kepepet tidak punya pilihan selain berwirausaha. Inilah yang dialami oleh Rinanda Halfi atau Halfi.
Pria kelahiran 23 tahun yang menetap di Bandung ini, mempunyai pengalaman unik ketika memulai usahanya. Berawal dari sebuah kecelakaan mobil yang membuat dia harus mengganti uang dari himpunan mahasiswa karena di dalam mobilnya ada uang himpunan yang diambil oleh warga.
Bingung untuk menggantinya, tidak lantas membuat dirinya berpangku tangan, ia kemudian berpikir untuk berwirausaha. Pertamanya Halfi berbisnis kaos dan kemudian ia
melanjutkan bisnisnya ke usaha makanan yaitu burger dengan bendera Black Burger atau Burger Hitam. Kini ia menghasilkan omzet Rp 60 juta per bulannya.
Menurut Halfi, ketika ditemui detikFinance di sela-sela pameran Produk UKM di JCC pekan laliu. Ia menuturkan alasannya memlih burger sebagai bisnisnya atau tidak memilih makanan lain.
Halfi beralasan, burger merupakan makanan yang sudah familiar di kalangan masyarakat perkotaan tetapi kebanyakan usaha burger ini, masih dikuasai oleh pemain asing seperti Burger King dan McDonald's. Sehingga untuk bersaing, produk miliknya harus berbeda dengan para pesaingnnya.
"Kalau sama, kita nggak akan cukup untuk melawan mereka (Burger King dan McDonald's), jadi kita harus buat diferensiasi (perbedaan) produk. Akhirnya saya buat inovasi dengan Black Burger," imbuh pria yang baru lulus dari jurusan Public Relation Unpad ini.
Burger yang berbeda dari burger yang ada pasaran ini, memang unik. Warna rotinya pun berwarna hitam, ia beri nama Black Burger. Warna hitamnya sendiri berasal dari buah kluwek, buah yang cuma ada di Indonesia, buah ini sering dipakai untuk membuat rawon atau sup condro. Menurut halfi, rasa dagingnya juga membuat burger milikinya berbeda dengan burger lainnya yakni memiliki citra rasa Indonesia.
"Dagingnya kita juga punya ciri khas yaitu dagingnya pakai daun jeruk dan cabe rawit, benar-benar cita rasa indonesia," tegasnya.
Bisnis burger yang dijalaninya sejak tahun 2010, tepatnya saat dia berada di semester 7 di Fakultas Komunikasi Unpad. Saat ini telah memiliki 2 outlet dan 28 aneka ragam burger. Pilihan rasa burgernya sendiri ada 3 macam yaitu: original, manis, dan hot. Untuk harganya sendiri, mulai dari harga Rp 12.000 – Rp 30.000 per potong.
Selain itu Halfi juga mengembangkan burger untuk para vegetarian dari bahan tempe dan burger nasi juga. Dari 2 outlet yang semuanya berada di Bandung itu, Halfi
telah mempekerjakan 5 orang karyawan.
"Kalau sekarang masih 5, dulu pernah sampai 8 tetapi kita tutup yang di Bogor karena penjualannya kurang bagus tapi kita ingin buka lagi. Sekarang saya punya 2 outlet," tutur finalis wirausaha mandiri nasional dan Start Up Icon yaitu pengusaha muda yang jadi icon-icon di Bandung tahun 2011.
Dari 2 outlet Black Burger milik Halfi, omzet setiap outletnya per bulannya mencapai Rp 20-60 juta per bulan untuk semua outletnya. Ini merupakan omzet yang besar untuk seorang pemuda berusia 23 tahun.
Keberhasilan yang ia capai bukannya tanpa kendala. Halfi pernah ditipu oleh mitranya sendiri, ia bekerjasama dengan sebuah toko (vendor) pembuat roti untuk burger milikinya. Tanpa dia sadari ternyata mitranya tersebut menjual burger sejenis dari resep miliknya.
"Ini bukan masalah materi tapi ide kita dicuri, belajar dari kondisi itu maka setiap saya membuat komitmen dengan seseorang saya selalu buat MoU atau perjanjian. Dengan karyawan saya juga seperti itu," tambahnya.
Pada tahun 2012 ini, dia berencana untuk membuka 6 outlet lagi di Bandung dan 1 outlet di daerah Senopati (Jakarta). Selain itu, Halfi juga memiliki mimpi untuk menjadi kompetitor kuat McDonald's dan Burger King di Indonesia. Dia ingin menunjukkan bahwa Indonesia juga memiliki Burger yang berkualitas dengan citra rasa Indonesia.
"Mimpi saya, saya ingin menjadi kompetitor kuat McD dan Burger King di indonesia," tambahnya.
Pria kelahiran 23 tahun yang menetap di Bandung ini, mempunyai pengalaman unik ketika memulai usahanya. Berawal dari sebuah kecelakaan mobil yang membuat dia harus mengganti uang dari himpunan mahasiswa karena di dalam mobilnya ada uang himpunan yang diambil oleh warga.
Bingung untuk menggantinya, tidak lantas membuat dirinya berpangku tangan, ia kemudian berpikir untuk berwirausaha. Pertamanya Halfi berbisnis kaos dan kemudian ia
melanjutkan bisnisnya ke usaha makanan yaitu burger dengan bendera Black Burger atau Burger Hitam. Kini ia menghasilkan omzet Rp 60 juta per bulannya.
Menurut Halfi, ketika ditemui detikFinance di sela-sela pameran Produk UKM di JCC pekan laliu. Ia menuturkan alasannya memlih burger sebagai bisnisnya atau tidak memilih makanan lain.
Halfi beralasan, burger merupakan makanan yang sudah familiar di kalangan masyarakat perkotaan tetapi kebanyakan usaha burger ini, masih dikuasai oleh pemain asing seperti Burger King dan McDonald's. Sehingga untuk bersaing, produk miliknya harus berbeda dengan para pesaingnnya.
"Kalau sama, kita nggak akan cukup untuk melawan mereka (Burger King dan McDonald's), jadi kita harus buat diferensiasi (perbedaan) produk. Akhirnya saya buat inovasi dengan Black Burger," imbuh pria yang baru lulus dari jurusan Public Relation Unpad ini.
Burger yang berbeda dari burger yang ada pasaran ini, memang unik. Warna rotinya pun berwarna hitam, ia beri nama Black Burger. Warna hitamnya sendiri berasal dari buah kluwek, buah yang cuma ada di Indonesia, buah ini sering dipakai untuk membuat rawon atau sup condro. Menurut halfi, rasa dagingnya juga membuat burger milikinya berbeda dengan burger lainnya yakni memiliki citra rasa Indonesia.
"Dagingnya kita juga punya ciri khas yaitu dagingnya pakai daun jeruk dan cabe rawit, benar-benar cita rasa indonesia," tegasnya.
Bisnis burger yang dijalaninya sejak tahun 2010, tepatnya saat dia berada di semester 7 di Fakultas Komunikasi Unpad. Saat ini telah memiliki 2 outlet dan 28 aneka ragam burger. Pilihan rasa burgernya sendiri ada 3 macam yaitu: original, manis, dan hot. Untuk harganya sendiri, mulai dari harga Rp 12.000 – Rp 30.000 per potong.
Selain itu Halfi juga mengembangkan burger untuk para vegetarian dari bahan tempe dan burger nasi juga. Dari 2 outlet yang semuanya berada di Bandung itu, Halfi
telah mempekerjakan 5 orang karyawan.
"Kalau sekarang masih 5, dulu pernah sampai 8 tetapi kita tutup yang di Bogor karena penjualannya kurang bagus tapi kita ingin buka lagi. Sekarang saya punya 2 outlet," tutur finalis wirausaha mandiri nasional dan Start Up Icon yaitu pengusaha muda yang jadi icon-icon di Bandung tahun 2011.
Dari 2 outlet Black Burger milik Halfi, omzet setiap outletnya per bulannya mencapai Rp 20-60 juta per bulan untuk semua outletnya. Ini merupakan omzet yang besar untuk seorang pemuda berusia 23 tahun.
Keberhasilan yang ia capai bukannya tanpa kendala. Halfi pernah ditipu oleh mitranya sendiri, ia bekerjasama dengan sebuah toko (vendor) pembuat roti untuk burger milikinya. Tanpa dia sadari ternyata mitranya tersebut menjual burger sejenis dari resep miliknya.
"Ini bukan masalah materi tapi ide kita dicuri, belajar dari kondisi itu maka setiap saya membuat komitmen dengan seseorang saya selalu buat MoU atau perjanjian. Dengan karyawan saya juga seperti itu," tambahnya.
Pada tahun 2012 ini, dia berencana untuk membuka 6 outlet lagi di Bandung dan 1 outlet di daerah Senopati (Jakarta). Selain itu, Halfi juga memiliki mimpi untuk menjadi kompetitor kuat McDonald's dan Burger King di Indonesia. Dia ingin menunjukkan bahwa Indonesia juga memiliki Burger yang berkualitas dengan citra rasa Indonesia.
"Mimpi saya, saya ingin menjadi kompetitor kuat McD dan Burger King di indonesia," tambahnya.
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Info pameran roti,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti,
usaha sampingan
Sabtu, 14 April 2012
RAUP PULUHAN JUTA DENGAN KUE BERBAHAN BUAH-BUAHAN
Buah bisa menjadi bahan baku aneka kue yang lezat. Keuntungan dari bisnis makanan ini juga tidak kalah legit. Pengusaha kue berbahan baku buah bisa mengantongi omzet hingga Rp 100 juta per bulan bermargin 30 persen. Buah-buahan tak hanya bisa Anda olah menjadi minuman segar atau jus atau keripik buah. Melainkan, bisa juga menjadi bahan baku pembuatan aneka kue.
Tengok saja usaha Maria Wardhani, pemilik Rumah Pisang di Bekasi, Jawa Barat. Ia mengolah pisang menjadi cake dan kue kering.
Cara pembuatannya pun sangat mudah, sama seperti membuat cake atau kue pada umumnya. Langkah awalnya, Anda mesti membuat adonan berbahan terigu. Lalu, masukan pisang ambon atau sunpride yang sudah dihancurkan. Setelah bercampur, adonan dituangkan ke dalam cetakan dan siap dioven. "Jumlah pisang harus lebih dominan dari terigu supaya rasa pisangnya terasa," pesannya.
Maria memilih pisang sebagai bahan utama kue karena buah ini sangat populer dan telah lama menjadi favorit keluarga karena rasanya enak serta bergizi. "Pelanggan saya datang dari Jakarta dan Bandung," ujarnya.
Dia membanderol banana cake seharga Rp 50.000 per loyang. Adapun kue kering berbahan oatmeal Rp 35.000 per stoples. "Saya menyasar pelanggan kelas menengah atas," ungkapnya.
Dalam sebulan, Maria mengatakan, dirinya bisa menghasilkan omzet hingga Rp 30 juta. "Laba bersih yang bisa dikantongi mencapai 20 persen," tutur dia.
Namun, pasar cake dan kue kering pisangnya kurang berkembang lantaran tidak semua orang tahu pisang bisa menjadi bahan baku kue. Untuk mengatasi itu, Maria saat ini sedang giat menyebarkan pengetahuan tersebut lewat media online.
Pembuat cake buah-buahan lain, Decky Suryata, pemilik Salakka Pondoh di Sleman, Yogyakarta, juga merasakan manisnya bisnis kue berbahan baku buah. Dia kini mengolah salak menjadi roti atau kue kering.
Saat ini, ia menjual cake salak pondoh seharga Rp 30.000 per boks dengan rasa keju, original, cokelat, dan pandan. Adapun untuk bakpia salak pondoh, harganya Rp 25.000 per boks. "Omzet saya Rp 100 juta per bulan dengan laba 30 persen," jelasnya.
Dia bilang, 60 persen pelanggannya adalah wisatawan dan 40 persen sisanya penduduk lokal. Untuk pemasaran, Decky yang merupakan finalis Wirausaha Muda Mandiri 2012 membuka dua toko di daerah Sleman. "Ke depan, saya ingin kembangkan produk," ujarnya.
Tengok saja usaha Maria Wardhani, pemilik Rumah Pisang di Bekasi, Jawa Barat. Ia mengolah pisang menjadi cake dan kue kering.
Cara pembuatannya pun sangat mudah, sama seperti membuat cake atau kue pada umumnya. Langkah awalnya, Anda mesti membuat adonan berbahan terigu. Lalu, masukan pisang ambon atau sunpride yang sudah dihancurkan. Setelah bercampur, adonan dituangkan ke dalam cetakan dan siap dioven. "Jumlah pisang harus lebih dominan dari terigu supaya rasa pisangnya terasa," pesannya.
Maria memilih pisang sebagai bahan utama kue karena buah ini sangat populer dan telah lama menjadi favorit keluarga karena rasanya enak serta bergizi. "Pelanggan saya datang dari Jakarta dan Bandung," ujarnya.
Dia membanderol banana cake seharga Rp 50.000 per loyang. Adapun kue kering berbahan oatmeal Rp 35.000 per stoples. "Saya menyasar pelanggan kelas menengah atas," ungkapnya.
Dalam sebulan, Maria mengatakan, dirinya bisa menghasilkan omzet hingga Rp 30 juta. "Laba bersih yang bisa dikantongi mencapai 20 persen," tutur dia.
Namun, pasar cake dan kue kering pisangnya kurang berkembang lantaran tidak semua orang tahu pisang bisa menjadi bahan baku kue. Untuk mengatasi itu, Maria saat ini sedang giat menyebarkan pengetahuan tersebut lewat media online.
Pembuat cake buah-buahan lain, Decky Suryata, pemilik Salakka Pondoh di Sleman, Yogyakarta, juga merasakan manisnya bisnis kue berbahan baku buah. Dia kini mengolah salak menjadi roti atau kue kering.
Saat ini, ia menjual cake salak pondoh seharga Rp 30.000 per boks dengan rasa keju, original, cokelat, dan pandan. Adapun untuk bakpia salak pondoh, harganya Rp 25.000 per boks. "Omzet saya Rp 100 juta per bulan dengan laba 30 persen," jelasnya.
Dia bilang, 60 persen pelanggannya adalah wisatawan dan 40 persen sisanya penduduk lokal. Untuk pemasaran, Decky yang merupakan finalis Wirausaha Muda Mandiri 2012 membuka dua toko di daerah Sleman. "Ke depan, saya ingin kembangkan produk," ujarnya.
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mesin roti bekas,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti,
usaha sampingan
Rabu, 11 April 2012
WARALABA KULINER INDONESIA TEMBUS MALAYSIA DAN FILIPINA
Waralaba asal Indonesia, PT Baba Rafi Indonesia, berhasil menembus pasar Filipina dan Malaysia. Hal itu ditandai dengan adanya perjanjian kerja sama dengan Master Franchise dari dua negara tersebut. Master Franchise adalah hak yang diberikan kepada penerima waralaba dari pemberi waralaba untuk membuka dan mengelola bisnis waralabanya dalam suatu wilayah tertentu.
Penerima waralaba juga bisa menjual hak waralaba secara lanjutan kepada penerima waralaba lain di wilayahnya tersebut. "Murni mereka (Master Franchise) buka dan investasi di Malaysia dan Filiphina," ujar Presiden Direktur PT Baba Rafi Indonesia, Hendy Setiono kepada Kompas.com, Minggu (4/3/2012).
Kerja sama waralaba dengan dua negara tersebut ditandai dengan penandatangan perjanjian dengan dua Master Franchise, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Hendy menuturkan, kedua MF tersebut akan mengikuti pelatihan selama dua minggu mulai awal Maret ini. Setelah itu, Baba Rafi akan melakukan pendampingan selama tiga bulan di dua negara tersebut.
Pendampingan tersebut, terang dia, berupa persiapan merekrut karyawan, pelatihan karyawan, dan persiapan sampai pembukaan gerai. Pembukaan gerai dimulai dengan 6 gerai baik di Malaysia dan Filiphina. Tetapi untuk penjualan hak waralaba dari MF ke penerima waralaba lain tidak serta merta sama di kedua negara. Di Malaysia harus menunggu satu tahun untuk membuka gerai lanjutan."Ya, setelah setahun baru boleh di sub-franchise-kan," sebut Hendy.
Produk yang akan dipasarkan di dua negara tersebut adalah 15 jenis produk Baba Rafi, termasuk produk andalannya yakni kebab. Produk ini pun akan mengikuti standar yang ditetapkan di Indonesia. Jika nantinya mau diubah sesuai dengan selera lokal maka harus ada persetujuan dari Baba Rafi. Hendy pun bilang, inisiatif kerja sama ini datang dari masing-masing MF. Menurut dia, cukup susah memasarkan produk ke luar negeri. Tapi ternyata itu tidak mustahil untuk dilakukan seiring dengan pencapaian kerja sama ini. "Susah sekali, terutama mendapatkan kepercayaan sebagai merek asal Indonesia," pungkas dia.
Penerima waralaba juga bisa menjual hak waralaba secara lanjutan kepada penerima waralaba lain di wilayahnya tersebut. "Murni mereka (Master Franchise) buka dan investasi di Malaysia dan Filiphina," ujar Presiden Direktur PT Baba Rafi Indonesia, Hendy Setiono kepada Kompas.com, Minggu (4/3/2012).
Kerja sama waralaba dengan dua negara tersebut ditandai dengan penandatangan perjanjian dengan dua Master Franchise, di Jakarta, beberapa waktu lalu. Hendy menuturkan, kedua MF tersebut akan mengikuti pelatihan selama dua minggu mulai awal Maret ini. Setelah itu, Baba Rafi akan melakukan pendampingan selama tiga bulan di dua negara tersebut.
Pendampingan tersebut, terang dia, berupa persiapan merekrut karyawan, pelatihan karyawan, dan persiapan sampai pembukaan gerai. Pembukaan gerai dimulai dengan 6 gerai baik di Malaysia dan Filiphina. Tetapi untuk penjualan hak waralaba dari MF ke penerima waralaba lain tidak serta merta sama di kedua negara. Di Malaysia harus menunggu satu tahun untuk membuka gerai lanjutan."Ya, setelah setahun baru boleh di sub-franchise-kan," sebut Hendy.
Produk yang akan dipasarkan di dua negara tersebut adalah 15 jenis produk Baba Rafi, termasuk produk andalannya yakni kebab. Produk ini pun akan mengikuti standar yang ditetapkan di Indonesia. Jika nantinya mau diubah sesuai dengan selera lokal maka harus ada persetujuan dari Baba Rafi. Hendy pun bilang, inisiatif kerja sama ini datang dari masing-masing MF. Menurut dia, cukup susah memasarkan produk ke luar negeri. Tapi ternyata itu tidak mustahil untuk dilakukan seiring dengan pencapaian kerja sama ini. "Susah sekali, terutama mendapatkan kepercayaan sebagai merek asal Indonesia," pungkas dia.
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Info pameran roti,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
oven roti,
proofer,
resep roti,
toko roti,
usaha roti,
usaha sampingan
Minggu, 08 April 2012
INOVASI KUE NON TERIGU
Dalam berbisnis harus berinovasi. Tanpa inovasi, bisnis bak sayur tanpa garam. Bisnis dengan cara yang beda dari yang biasa itulah yang dilakukan seorang Sri Murtiningsih. Ia adalah pemilik usaha Hanah Cake and Cookies. Usaha kue telah digeluti Sri sejak ia kuliah.
Sekitar tahun 1992-1994, ia menjajakan kue untuk acara pernikahan. Pernah ia menjual kue sebanyak 1.500 potong untuk satu pesanan saja. "Tapi terputus karena selesaikan kuliah," ujar Sri kepada Kompas.com, Minggu (18/3/2012).
Usaha kuliner ini pun dilanjutkannya pada tahun 2003. Sri yang pekerjaannya ibu rumah tangga ini melanjutkan usaha karena untuk kebutuhan mendesak di keluarganya. "Waktu itu jujur karena kepepet. Suami nggak punya ongkos," cerita dia.
Kala itu, ia menjual cake biasa dengan bahan dasar tepung terigu. Ia pun menjualnya dengan cara menitip di empat toko sekitar Depok. Ia juga menitip kue di lima fakultas di Universitas Indonesia hingga ke Sucofindo dan Bidakara. Dalam satu hari, ia membuat satu loyang kue yang kemudian dibagi jadi 36 potong. "Sempat sisa, ditaruh di bawah etalase. Bukan terjual justru dimakan anaknya (yang punya toko)," tuturnya.
Lalu, Sri pun mengambil langkah untuk ikut pelatihan di bidang kuliner tahun 2006-2007. Penggunaan tepung singkong menjadi bagian dalam pelatihan tersebut. Lantas ia pun mencoba menggunakan tepung singkong ini untuk usahanya. Ia mulai pakai tepung ini sebagai bahan dasar membuat kue tahun 2008. Sejak itu, ia tidak lagi memakai tepung terigu sebagai bahan dasar kuenya, kecuali untuk kue jenis black forest.
Sri menuturkan, dari 20 orang yang ikut pelatihan, hanya dirinya yang masih terus bertahan menggunakan tepung singkong. Awalnya, ia mengaku susah menggunakan tepung yang berasal dari umbi-umbian tersebut. Dikatakannya, kualitas singkong bisa jelek jika musim hujan. "Cuaca bagus, singkong bagus," tuturnya.
Kesulitan lainnya adalah mengenai volume pembelian tepung yang harus dalam jumlah besar dari pabriknya. Setiap pembelian, Sri harus beli minimal 50 kilogram. Satu kilogram tepung singkong seharga Rp 6.000. Karena harus beli banyak, ia pun tidak memakai semua tepung. Sebagian ia jual kembali. "Kan belum banyak di pasaran," ungkapnya.
Kondisi yang demikian tak membuat semangat Sri padam untuk mengembangkan usaha yang sebenarnya membantu program diversifikasi pangan pemerintah. Ia pun menyebutkan banyak hal positif dari tepung singkong ini. Ketimbang tepung terigu, tepung singkong ternyata lebih banyak kandungan serat, protein, zat besi, hingga kalsium. Singkong pun punya kandungan garam yang rendah. "Lebih padat teksturnya daripada tepung terigu," kata Sri menjelaskan perbedaannya ketika diolah menjadi kue.
Karena keunggulan tepung singkong ini, ia pun menyasar anak-anak autis sebagai konsumennya. Karena anak autis harus makan makanan yang gluten free. Jadi tepung dari umbi-umbian menjadi salah satu yang masuk kriteria. Modal yang harus disiapkannya untuk melayani konsumen khusus ini pun terbilang besar. Lantaran kue tidak bisa sembarang membuat. Ada bahan-bahan tertentu yang tidak bisa dikonsumsi. Modalnya, kata Sri, bisa di atas Rp 500.00 untuk sekali pesanan. Untungnya, pesanan lancar-lancar saja. Produk Sri bisa pesan lewat pesan teks (SMS) dan pembayarannya melalui transfer.
Usaha kue browniesnya pun sekarang tidak hanya memakai tepung singkong. Ia juga memakai sagu ganyong yang juga jenis umbi-umbian. Jika tepung singkong didapatkan dari pabrik, sagu ganyong diperolehnya langsung dari petani di daerah Ciamis.
Keanekaragaman bahan pangan yang ditunjukkan dalam usahanya membawa Sri mendapatkan penghargaan dari Kementerian Perdagangan tahun 2009. Sri berhasil menang UKM Award untuk program diversifikasi pangan. Selanjutnya, ia pun menjadi UKM binaan Kemendag. Manfaatnya, ia diikutsertakan dalam sejumlah kegiatan seperti Food Security Summit.
Perlu diketahui, usaha Sri bukanlah tanpa hambatan. Ia bercerita, usahanya ini masih punya masalah permodalan. Pasalnya, ia berkeinginan mempunyai pabrik kue sendiri dan toko kue kecil. Pemasaran juga masih menjadi masalah usahanya. Karena itu, ia pun masih menjajakan produknya dengan cara pesanan. "Masih pesanan misalnya untuk komunitas ibu-ibu (yang anaknya penyandang autis)," tambahnya.
Sekalipun demikian, Sri berharap pendirian pabrik dan toko kue segera terwujud. Sekarang ini dia masih membuat kue brownies dan cookies di dapur rumahnya. "Usaha sih pingin buat mini factory, tapi mahal biaya peralatannya. Ya mudah-mudahan tahun depan," pungkas Sri.
Sekitar tahun 1992-1994, ia menjajakan kue untuk acara pernikahan. Pernah ia menjual kue sebanyak 1.500 potong untuk satu pesanan saja. "Tapi terputus karena selesaikan kuliah," ujar Sri kepada Kompas.com, Minggu (18/3/2012).
Usaha kuliner ini pun dilanjutkannya pada tahun 2003. Sri yang pekerjaannya ibu rumah tangga ini melanjutkan usaha karena untuk kebutuhan mendesak di keluarganya. "Waktu itu jujur karena kepepet. Suami nggak punya ongkos," cerita dia.
Kala itu, ia menjual cake biasa dengan bahan dasar tepung terigu. Ia pun menjualnya dengan cara menitip di empat toko sekitar Depok. Ia juga menitip kue di lima fakultas di Universitas Indonesia hingga ke Sucofindo dan Bidakara. Dalam satu hari, ia membuat satu loyang kue yang kemudian dibagi jadi 36 potong. "Sempat sisa, ditaruh di bawah etalase. Bukan terjual justru dimakan anaknya (yang punya toko)," tuturnya.
Lalu, Sri pun mengambil langkah untuk ikut pelatihan di bidang kuliner tahun 2006-2007. Penggunaan tepung singkong menjadi bagian dalam pelatihan tersebut. Lantas ia pun mencoba menggunakan tepung singkong ini untuk usahanya. Ia mulai pakai tepung ini sebagai bahan dasar membuat kue tahun 2008. Sejak itu, ia tidak lagi memakai tepung terigu sebagai bahan dasar kuenya, kecuali untuk kue jenis black forest.
Sri menuturkan, dari 20 orang yang ikut pelatihan, hanya dirinya yang masih terus bertahan menggunakan tepung singkong. Awalnya, ia mengaku susah menggunakan tepung yang berasal dari umbi-umbian tersebut. Dikatakannya, kualitas singkong bisa jelek jika musim hujan. "Cuaca bagus, singkong bagus," tuturnya.
Kesulitan lainnya adalah mengenai volume pembelian tepung yang harus dalam jumlah besar dari pabriknya. Setiap pembelian, Sri harus beli minimal 50 kilogram. Satu kilogram tepung singkong seharga Rp 6.000. Karena harus beli banyak, ia pun tidak memakai semua tepung. Sebagian ia jual kembali. "Kan belum banyak di pasaran," ungkapnya.
Kondisi yang demikian tak membuat semangat Sri padam untuk mengembangkan usaha yang sebenarnya membantu program diversifikasi pangan pemerintah. Ia pun menyebutkan banyak hal positif dari tepung singkong ini. Ketimbang tepung terigu, tepung singkong ternyata lebih banyak kandungan serat, protein, zat besi, hingga kalsium. Singkong pun punya kandungan garam yang rendah. "Lebih padat teksturnya daripada tepung terigu," kata Sri menjelaskan perbedaannya ketika diolah menjadi kue.
Karena keunggulan tepung singkong ini, ia pun menyasar anak-anak autis sebagai konsumennya. Karena anak autis harus makan makanan yang gluten free. Jadi tepung dari umbi-umbian menjadi salah satu yang masuk kriteria. Modal yang harus disiapkannya untuk melayani konsumen khusus ini pun terbilang besar. Lantaran kue tidak bisa sembarang membuat. Ada bahan-bahan tertentu yang tidak bisa dikonsumsi. Modalnya, kata Sri, bisa di atas Rp 500.00 untuk sekali pesanan. Untungnya, pesanan lancar-lancar saja. Produk Sri bisa pesan lewat pesan teks (SMS) dan pembayarannya melalui transfer.
Usaha kue browniesnya pun sekarang tidak hanya memakai tepung singkong. Ia juga memakai sagu ganyong yang juga jenis umbi-umbian. Jika tepung singkong didapatkan dari pabrik, sagu ganyong diperolehnya langsung dari petani di daerah Ciamis.
Keanekaragaman bahan pangan yang ditunjukkan dalam usahanya membawa Sri mendapatkan penghargaan dari Kementerian Perdagangan tahun 2009. Sri berhasil menang UKM Award untuk program diversifikasi pangan. Selanjutnya, ia pun menjadi UKM binaan Kemendag. Manfaatnya, ia diikutsertakan dalam sejumlah kegiatan seperti Food Security Summit.
Perlu diketahui, usaha Sri bukanlah tanpa hambatan. Ia bercerita, usahanya ini masih punya masalah permodalan. Pasalnya, ia berkeinginan mempunyai pabrik kue sendiri dan toko kue kecil. Pemasaran juga masih menjadi masalah usahanya. Karena itu, ia pun masih menjajakan produknya dengan cara pesanan. "Masih pesanan misalnya untuk komunitas ibu-ibu (yang anaknya penyandang autis)," tambahnya.
Sekalipun demikian, Sri berharap pendirian pabrik dan toko kue segera terwujud. Sekarang ini dia masih membuat kue brownies dan cookies di dapur rumahnya. "Usaha sih pingin buat mini factory, tapi mahal biaya peralatannya. Ya mudah-mudahan tahun depan," pungkas Sri.
Label:
alat roti,
bisnis roti,
info alat roti,
Info mesin bekas,
Kiat Bisnis Roti,
kuliner,
kursus roti,
mesin bakery,
Mesin roti,
mixer roti,
narasi bebas,
oven roti,
proofer,
resep roti,
usaha roti,
usaha sampingan
Langganan:
Postingan (Atom)